Opini
Beras Melimpah, Mengapa Rakyat Masih Mengeluh ?
Oleh: Dwi R Djohan
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Sudah menjadi rahasia umum jika makanan pokok orang Indonesia yang paling umum adalah nasi yang berasal dari beras. Walau makanan lain yang dimakan itu kandungannya setara dengan nasi, seperti singkong, kentang, jagung, ubi dan lain-lain, tetaplah kata orang Jawa “belum dikatakan makan jika belum makan nasi”.
Secara psikologis, anggapan itu muncul karena kebiasaan makan yang kuat sehingga otak cenderung “meminta” nasi meskipun tubuh sudah mendapatkan cukup nutrisi dari makanan lain. Dengan mitos inilah maka kebutuhan beras sangat dibutuhkan kebanyakan orang Indonesia.
Menjadi hal yang membahagiakan jika negeri ini memiliki stok beras yang melimpah. Karena otomatis, permintaan rakyat terpenuhi tanpa mengkhawatirkan harga beras naik. Menurut Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM), Prof Lilik Sutiarso pada beritasatu.com (19-6-2025) menyatakan produksi beras nasional dalam kondisi memuaskan di mana stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) tahun ini adalah tertinggi sepanjang sejarah. Dengan harapan dapat dipastikan, harga beras akan stabil atau bahkan turun. Mengingat stok beras harus segera disalurkan agar tidak rusak. Namun, fakta di lapangan jauh berbeda.
Masih menurut Prof Lilik, saat ini Satgas Pangan Mabes Polri sedang turun langsung melakukan pengecekan anomali distribusi beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) di sejumlah pasar induk besar seperti Cipinang, Jakarta Timur. Dengan stok yang melimpah, seharusnya harga beras stabil tetapi di pasar malah naik. Jika ini dibiarkan maka akan sangat memberatkan masyarakat kecil dan juga para petani. Dengan analisanya, Prof Lilik menganggap kenaikan ini terjadi karena ketidaknormalan proses distribusi beras, spekulasi harga beras oleh pedagang/pelaku pasar serta karena biaya penyimpanan dan biaya logistik sebelum penjualan atau pada saat di gudang.
Menurut Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori pada Bisnis, Selasa (17-6-2025), harga beras medium di pasar berada di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) secara nasional pada beberapa bulan ini. Apalagi dari data Badan Pusat Statistik (BPS) per pekan pertama bulan Juni 2025, ada 14 kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga beras dalam sepekan. Masih menurut Khudori, hal ini terjadi karena adanya penumpukan beras di gudang Bulog. Kebijakan yang mewajibkan Bulog menyerap gabah petani dalam jumlah besar justru menciptakan penumpukan stok di gudang. Akibatnya, suplai beras ke pasar terganggu dan harga naik. Birokrasi pendistribusian yang terlalu rumit pun, semakin membuat beras menjadi lama diterima masyarakat.
Harus dicarikan solusi atas permasalahan pendistribusian ini. Butuh intervensi negara dalam hal ini dan kebijakan berkelanjutan pun perlu dibuatkan demi kestabilannya. Mengingat kondisi setiap wilayah di negeri ini berbeda dan kebutuhan stok pangan yang berbeda pula maka keseriusan negara sangat dibutuhkan. Belum lagi infrastruktur yang tidak merata seperti daerah dataran tinggi atau luar pulau dan jalur penghubung yang rentan waktu, membuat semakin lama pendistribusian. Jika tetap mengambil peran Bulog maka hal ini akan menjadi beban Bulog sebagai operator dan kualitas beras pun akan menurun baik mutu atau volume berasnya bahkan jika terlalu lama disimpan, bisa rusak butiran berasnya. Akibatnya berpeluang untuk terbukanya kran impor beras. Mengapa bisa? Karena rakyat akan merasa tidak puas dengan hasil beras dalam negeri sehingga dijadikan alasan oleh oknum untuk meminta pemerintah mengimpor beras. Rakyat tidak akan keberatan meski harga mahal karena sebanding dengan kualitasnya. Jika ini terjadi maka ini adalah bentuk kecurangan penguasa terhadap para petani dalam negeri.
Jika dibiarkan, hal menyedihkan akan terjadi. Apakah rakyat negeri agraris ini akan mati padahal negeri ini berpeluang menjadi lumbung padi?
Inilah ciri sistem kapitalisme jika berkaitan dengan pengelolaan pangan. Di mana pelaksanaannya tidak pro-rakyat, tetapi lebih tunduk pada mekanisme pasar dan kepentingan elite. Selain itu, pangan bukan menjadi hak dasar rakyat yang wajib dijamin dan diupayakan oleh negara, melainkan komoditas yang bisa diperdagangkan demi keuntungan. Negara hanya berperan sebagai regulator saja, bukan pelindung atau penjamin distribusi yang adil. Bahkan seolah menutup mata atas mafia pasar. Alhasil, rakyat miskin menjadi korban fluktuasi harga.
Dalam Khilafah, negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat, termasuk pangan. Negara akan mengelola produksi, distribusi, dan cadangan pangan secara langsung, tanpa menjadikannya komoditas dagang. Khilafah akan memberi subsidi bibit, bubuk, maupun memberikan saprotan kepada petani secara gratis untuk menjamin kualitas beras yang dihasilkan. Khilafah juga melarang penimbunan dan memastikan distribusi merata, sehingga harga stabil dan rakyat terjamin.
Selain itu, khilafah juga akan memastikan harga barang-barang yang tersedia di masyarakat mengikuti mekanisme pasar, bukan dengan mematok harga. Pemastian ini pun merupakan ketundukan pada syariat Islam yang melarang ada intervensi harga. Maka, solusi hakiki bukan tambal sulam regulasi, tetapi perubahan sistem.
Wallahu a'lam.
Via
Opini
Posting Komentar