Opini
Wacana Hilirisasi: Nyatanya Eksploitasi, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Oleh: Siti Maimunah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Hilirisasi adalah proses transformasi ekonomi berkelanjutan, di mana kebijakan industrialisasi berbasis komoditas bernilai tambah tinggi diarahkan menuju struktur ekonomi yang lebih maju dan kompleks. Ini merupakan salah satu visi besar Presiden Republik Indonesia yang digaungkan dalam kampanye politik beberapa waktu lalu.
Namun di balik janji manis itu, hilirisasi—khususnya dalam sektor energi baru dan industri nikel—menjadi isu krusial di tahun politik ini. Salah satu bentuk nyata transisi energi tersebut adalah melalui pengolahan nikel, yang tengah mengalami lonjakan permintaan global seiring tren kendaraan listrik (EV) dari perusahaan-perusahaan besar seperti Tesla, Toyota, BMW, Mercedes, Ford, hingga Volkswagen. Banyak dari mereka mendapatkan pasokan bahan baku baterai dari tambang-tambang di Indonesia, khususnya di Maluku Utara dan Pulau Obi.
Sayangnya, hilirisasi nikel yang diklaim mendukung transisi energi bersih justru membawa kerusakan ekologis besar-besaran di Sulawesi, Maluku, hingga Papua, daerah yang dikenal sebagai surga wisata dunia dan tanah sakral bagi masyarakat adat. Raja Ampat, yang dijuluki The Last Paradise, kini tak lagi aman dari cengkeraman tambang.
BBC News Indonesia (06-06-2025) mencatat, dari lima perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Raja Ampat, hanya satu yang aktif: PT GAG Nikel, anak perusahaan PT ANTAM Tbk. Mereka menambang di Pulau Gag—seluas 6.035 hektare dengan 1.000 penduduk. Konsesi mereka bahkan mencapai 13.136 hektare, dan 20% darinya telah dibuka. Ironisnya, dengan kekayaan sebesar itu, masyarakat lokal tidak hidup makmur. Sistem ekonomi kapitalis yang dijalankan hanya menguntungkan segelintir elite pemilik modal.
Wilayah tambang lainnya seperti Kolaka, Sulawesi Tenggara, tercatat sebagai daerah penghasil nikel terbesar dengan luas tambang 3.283 km² dari total dataran 198.624 hektare. Diikuti oleh Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah (Morowali), dan 12 perusahaan tambang di Maluku Utara (Liputan6, 12-06-2025).
Padahal, Indonesia tidak hanya kaya nikel—tetapi juga emas, timah, perak, dan lainnya. Namun fakta tragisnya: masyarakat sekitar tambang hidup dalam kemiskinan, infrastruktur minim, bahkan akses air bersih pun sulit. Papua, misalnya, dikenal sebagai wilayah tambang emas, tapi rakyatnya tak merasakan kesejahteraan. Maka, pertanyaannya: ke mana perginya kekayaan alam itu? Siapa yang bertanggung jawab?
Nikel untuk Dunia, Racun untuk Kita
Program hilirisasi ini bukannya membawa berkah, tapi justru menyisakan jejak kehancuran. Penggundulan hutan, pencemaran udara dan laut, konflik sosial, hingga intimidasi terhadap masyarakat lokal. Jika dibiarkan, sedimentasi dari tambang akan menghancurkan terumbu karang, mengganggu ekosistem laut dan sumber pangan masyarakat pesisir.
Contohnya di Teluk Weda, Halmahera. Laut berubah menjadi industri, ikan mengandung merkuri dan arsenik. Bahkan 47% warga memiliki kadar merkuri dalam darah melebihi batas WHO, mengakibatkan penyakit kulit, gangguan ginjal, hingga kanker. Limbah nikel yang mengalir ke laut menciptakan krisis ekologis sekaligus kemanusiaan (Tirto.id, 21-08-2024).
Di Pulau Obi, kebocoran kromium-6 selama lebih dari satu dekade mencemari air konsumsi warga. Dampaknya sangat berbahaya: kerusakan hati, ginjal, iritasi kulit, dan kanker. Namun pemerintah dan perusahaan tetap melanjutkan ekspansi tambang seolah tidak terjadi apa-apa (The Gecko Project, 17-06-2025).
Masyarakat menanggung derita, sementara suara-suara penolakan dibungkam. Undang-Undang Minerba pun lebih berpihak kepada korporasi dan asing, bukan rakyat. Inilah wajah sistem ekonomi sekuler kapitalisme yang menguntungkan para oligarki, namun menyisakan luka bagi rakyatnya. Rakyat hanya diminta bangga, bukan untuk menikmati hasil alamnya.
Solusi Islam: Distribusi, Bukan Sembunyi-Sembunyi
Dalam Islam, sumber daya alam seperti tambang, air, dan energi adalah milik umum. Sebagaimana hadits Rasulullah:
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Islam membagi kepemilikan menjadi tiga: individu, umum, dan negara. Tambang termasuk milik umum, tidak boleh dikuasai swasta atau asing. Negara hanya bertugas sebagai pengelola, bukan pemilik. Hasilnya wajib didistribusikan kepada rakyat secara adil.
Solusi tuntas terhadap eksploitasi sumber daya alam hanya dapat terwujud dalam sistem ekonomi Islam yang diterapkan dalam naungan Khilafah. Bukan dengan sistem kapitalis yang membiarkan kekayaan mengalir ke kantong para pemodal, sementara rakyat hidup di bawah bayang-bayang kehancuran.
Via
Opini
Posting Komentar