Opini
Swasembada Pangan vis-a-vis Alih Fungsi Lahan
Oleh: Ummu Ghaza
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Presiden Prabowo Subianto kembali menegaskan komitmennya untuk mewujudkan cita-cita Indonesia swasembada pangan. Hal ini disampaikan dalam acara telekonferensi bersama kepala dinas pertanian provinsi, Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi), petani, dan penyuluh pertanian di Kementerian Pertanian pada Senin, 3 Februari 2025.
Dia mengatakan, “Masalah pangan adalah masalah kedaulatan dan kemerdekaan. Masalah pangan adalah masalah survival kita sebagai bangsa. Jika kita ingin menjadi negara maju, pangan harus aman dulu.” (www.ksp.go.id, 2-2-2025).
Sudah masyhur digaungkan bahwa pada masa pemerintahannya Presiden Prabowo bertekad menggenjot produksi padi dalam rangka mengejar status swasembada pangan ini.
Hal ini pula yang ditekankan kepada pemerintah daerah di seluruh wilayah Indonesia, utamanya Jawa Tengah sebagai provinsi produsen beras peringkat kedua terbesar se-Indonesia setelah Jawa Timur. Bahkan dalam rencana pembangunan Jawa Tengah di tahun 2026 juga telah diangkat tema khusus terkait pangan ini yakni ‘Meneguhkan Posisi Jawa Tengah Sebagai Lumbung Pangan Nasional.’ (bappedajateng.com, 28-5-2025).
Maka, sudah sewajarnya tema ini juga mewarnai seluruh kebijakan di kabupaten dan kota di Jawa Tengah, tak terkecuali Kabupaten Kendal, sebuah kabupaten di pinggir ibukota Provinsi Jawa Tengah. Bahkan, Kabupaten Kendal sudah memiliki Perda terkait perlindungan lahan lestari sebagai basis pendukung pembangunan sektor pangan ini yakni Perda No. 11 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Perda No. 13 Tahun 2013 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang mengatur luas kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan luas lahan cadangan pertanian.
Namun nyatanya, baru-baru ini justru Pemda Kendal mendapat singgungan keras dari salah satu anggota DPRD Kendal yang bernama Tardi, dia mengatakan, “Kendal ini aneh, kenapa sawah yang menghasilkan gabah yang tinggi malah dialihfungsikan, Itu di wilayah Kecamatan Kendal Kota, banyak sawah kelas yang bisa menghasilkan antara tujuh sampai sepuluh ton padi per hektar, sekarang malah dialihfungsikan menjadi lahan perumahan.” (halosemarang.id, 26 - 5 - 025).
Pernyataan ini memang bukan tanpa dasar, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kendal, data menunjukkan bahwa telah terjadi tren penurunan luas panen dan produksi sawah serta padi gogo selama tahun 2018 hingga tahun 2023. Luas panen padi mengalami penurunan sebesar 8.893,18 hektar, yang sebelumnya di tahun 2018 sebesar 43.879,90 hektar menjadi 34.986,72 hektar pada tahun 2023. Penurunan terbesar terjadi di Kecamatan Patean sebesar 1.770,59 hektar, disusul Singorojo sebesar 911,27 hektar, dan Boja sebesar 823,4 hektar.
Hal ini secara otomatis berimbas pada penurunan produksi padi di Kabupaten Kendal yakni dari 249.058,45 ton di tahun 2018 menjadi 195.155,13ton pada tahun 2023 dan bisa ditebak bahwa penurunan produksi terbesar juga terjadi di Kecamatan Patean yang turun dari 18.045,56ton dan hanya menjadi 8.088,41ton.
Fakta ini juga semakin jelas dengan adanya penggunaan lahan Kabupaten Kendal yang terus berubah selama periode 2018 hingga 2023. Salah satu perubahan yang paling signifikan adalah penurunan luas tanah sawah dari 24.053 hektar pada tahun 2018 menjadi 23.649 hektar pada tahun 2023 yang mengindikasikan telah terjadi konversi lahan pertanian produktif ke bentuk penggunaan lain yang bersifat non-pertanian. Selain itu, telah terjadi peningkatan lahan bukan pertanian dari 24.846 hektar menjadi 25.192 hektar dalam kurun waktu yang sama (www.researchgate.net, 1-4- 2025).
Sebenarnya, secara umum masalah alih fungsi lahan ini hampir merata terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini terjadi karena meningkatnya aktivitas perekonomian masyarakat yang membutuhkan lahan, baik untuk perumahan, industri ataupun jasa, dan hal ini wajar terjadi. Namun, sejatinya, ketika negara berpandangan bahwa pangan adalah hal yang urgen untuk selalu dijaga ketersediaannya, maka komitmen ini membutuhkan kebijakan khusus untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Uniknya, dalam sejarah Islam, masalah penggunaan lahan ini sudah sangat gamblang tersolusikan di bawah kepemimpinan para khalifah, mereka menjalankan mekanisme pembangunan yang integratif holistik yang berorientasi pada terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat baik sandang, pangan, maupun papan, dengan memastikan terselenggaranya syariat Islam secara sistemik di semua lini kehidupan.
Terkait lahan terdapat beberapa mekanisme yang dipedomani oleh semua warga negara, sebagaimana yang pernah ditulis dalam Kitab Nidhom Iqtishod Fil Islam karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani.
Pertama, pengklasifikasian kepemilikan yang spesifik sesuai sifat lahan, apakah lahan tersebut termasuk kepemilikan individu, kepemilikan umum, maupun kepemilikan negara, masing-masing memiliki mekanisme pemanfaatan yang berbeda.
Kedua, menghidupkan tanah mati setelah tiga tahun tidak termanfaatkan, yang dijalankan berdasarkan syarat dan ketentuan Islam.
Ketiga, negara bisa memberikan lahan kepada seseorang yang membutuhkan, berdasarkan pandangan kemaslahatan.
Keempat, terdapat suatu mekanisme proteksi lahan yang disebut hima, di mana hal ini dilakukan ketika khalifah berpandangan bahwa ada kemaslahatan negara yang harus diprioritaskan, sebagaimana dahulu Rasulullah saw. memproteksi suatu tempat yang disebut dengan Naqi', yaitu tempat yang letaknya lebih 20 farsakh dari Madinah, yang airnya melimpah, tumbuh banyak pohon kurma yang lebat buahnya, dan banyak rumputnya.
Rasulullah melarang orang-orang untuk menghidupkan tanah di tempat itu, karena di situ adalah tempat yang dipergunakan untuk lahan umbaran kuda-kuda perang yang dipergunakan untuk berperang di jalan Allah.
Demikian pun Amirul Mukminin Umar bin Khattab juga pernah melakukan hal yang sama, ia berkata: "Harta ini adalah milik Allah, sementara manusia adalah hamba Allah. Demi Allah, kalau seandainya bukan karena aku memakainya di jalan Allah, tentu aku tidak akan mempertahankan sejengkal tanah pun." (H.R. Abu Ubaid di dalam kitab Al-Amwal).
Namun, penerapan hima ini tidak boleh dilakukan dalam hal : (1) tanah mati yang selayaknya setiap orang berhak untuk menghidupkannya, dan (2) zat yang termasuk kepemilikan umum (semisal air, padang, api) yang jika diproteksi akan menimbulkan kemadharatan bagi masyarakat. Terakhir, pengawasan dan penegakan hukum sesuai ketentuan syariat Islam.
Kesimpulannya, dengan seperangkat mekanisme tersebut Islam pastinya mampu meminimalisir terjadinya permasalahan seputar lahan, di samping juga mampu memastikan terlaksananya tujuan semisal jika dilakukan dalam rangka mencukupi kebutuhan pangan yang menjadi komitmen negara untuk mewujudkannya demi kemaslahatan umat.
Allahu’alam bishowab.
Via
Opini
Posting Komentar