Opini
Lunturnya Demokrasi di AS, Jalan Menuju Khilafah
Oleh: Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)
TanahRibathMedia.Com—Amerika Serikat, yang selama ini dianggap sebagai kiblat demokrasi dunia, kini tengah menghadapi ujian yang sangat berat. Klaimnya sebagai pelopor kebebasan berpendapat, supremasi hukum, dan hak asasi manusia terancam oleh gelombang populisme yang memanfaatkan sentimen nasionalis serta sikap anti-imigran. Ancaman yang dihadapi bukanlah kudeta militer atau pembubaran parlemen, melainkan kekuatan politik elektoral yang lihai memanipulasi narasi kebebasan demi kepentingan eksklusif tertentu.
Sebagai manifestasi dari ketegangan tersebut, puluhan ribu warga AS turun ke jalan dalam aksi demonstrasi "No Kings" pada 14 Juni, mengecam berbagai kebijakan Presiden Donald Trump. Serta menolak otoritarianisme, politik yang mengutamakan miliarder, dan militerisasi demokrasi. Demonstrasi besar-besaran yang diperkirakan meliputi seluruh negara bagian ini merupakan yang terbesar sejak Trump kembali menjabat pada Januari 2025. Aksi tersebut bertepatan dengan ulang tahun Trump yang ke-79 dan hari jadi Angkatan Darat AS, berlangsung secara bersamaan di kota-kota besar seperti New York, Seattle, Chicago, Las Vegas, Washington D.C., dan Los Angeles (cnbcindonesia.com, 15-6-2025).
Demonstrasi "No Kings" beserta meningkatnya polarisasi politik menandakan kerentanan demokrasi terhadap manipulasi serta ancaman-ancaman internal yang menggerogoti stabilitasnya. Disertai dengan retorika populis Trump, yang mengadu domba antara kepentingan nasional dan keterbukaan global, telah merusak reputasi Amerika sebagai negara demokrasi ideal.
Kejadian ini bukan semata-mata krisis sesaat, melainkan gejala dari kelemahan struktural yang telah lama melekat pada sistem demokrasi Amerika, kelemahan yang selama ini diabaikan dan kini menjadi celah bagi politik populis untuk mengeksploitasinya, sebagaimana yang tampak dalam kasus Trump. Meski konflik fisik besar mungkin dapat dielakkan, benturan nilai dan kepentingan diperkirakan akan terus mengguncang fondasi Amerika sebagai pemimpin dunia.
Di balik tampilan kokohnya, sistem demokrasi sebenarnya menyimpan akar kelemahan struktural yang mendalam. Sejak awal, sistem ini telah diragukan oleh para pemikirnya seperti Plato dan Aristoteles. Kelemahan fundamental demokrasi sebagai buatan manusia diperparah dengan dominasi uang dalam politik, yang semakin memperburuk polarisasi serta mendorong munculnya populisme yang menawarkan solusi instan namun dangkal, sementara permasalahan sosial yang kompleks terus berkembang.
Dalam sejarah perumusan hukum demokrasi juga sarat kontroversi, sebab ia dirancang oleh para pemilik budak, pedagang, dan tuan tanah yang jauh dari mencerminkan kehendak rakyat sejati. Lebih lanjut, kapitalisme yang berdampingan dengan demokrasi menciptakan kesenjangan kekayaan yang ekstrem sehingga mengakomodasi praktik-praktik seperti perbudakan dan menjadi ladang subur bagi korupsi.
Meskipun kini demokrasi telah menjadi sistem universal di dunia, yang terintegrasi secara mendalam dalam budaya Amerika Serikat tercermin dalam motto “life, liberty, and the pursuit of happiness”. Namun pada praktiknya sistem demokrasi ini sering kali menyimpang dari ideal tersebut. Kelemahan-kelemahan individual maupun struktural ini tidak hanya berdampak pada Amerika Serikat sendiri, melainkan memiliki konsekuensi global, mengingat posisi sentral AS dalam menyebarluaskan nilai-nilai demokrasi. Oleh sebab itu, sepertinya dunia perlu mulai mempertimbangkan alternatif sistem politik lain, seperti sistem dalam Islam, yang menawarkan kerangka solusi sistemik dan model pemerintahan yang tidak semata-mata memenuhi aspirasi rakyat, tetapi juga berlandaskan nilai-nilai Islam yang menyeluruh dan komprehensif.
Demokrasi dalam Pandangan Islam dan Solusi Sistemik
Dalam perspektif Islam, demokrasi tidak berasal dari ajaran Islam, melainkan berakar pada sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, suatu prinsip yang jelas bertentangan dengan dasar-dasar Islam. Islam menegaskan bahwa sumber hukum serta kedaulatan tertinggi adalah Allah Swt., bukan kehendak mayoritas manusia. Oleh karena itu, suara mayoritas tidak dapat menggantikan ketetapan Ilahi. Kontradiksi ini memperlihatkan kelemahan demokrasi sekuler, di mana kepentingan manusia serta kelompok dapat menyingkirkan aturan Allah yang bersifat mutlak.
Dalam sistem Khilafah, pemimpin tertinggi atau Khalifah dipilih melalui proses baiat yang bersifat sukarela, berdasarkan pertimbangan ilmu serta kecakapan dalam menerapkan hukum Islam. Dengan demikian, Khalifah berperan sebagai pelayan umat yang wajib menjalankan pemerintahan sesuai syariat, bukan demi mengutamakan kepentingan pribadi maupun golongan tertentu. Menariknya, sistem Khilafah mampu menghindari problematika yang kerap menghantui demokrasi sekuler, seperti fragmentasi politik dan politisasi identitas yang memicu perpecahan sosial. Supremasi hukum syariah akan menjadi pijakan bersama yang mengikat seluruh elemen masyarakat, sehingga tercipta persatuan dan stabilitas dalam kehidupan berbangsa.
Lebih jauh lagi, sistem Khilafah menyediakan mekanisme pengawasan dan koreksi terhadap kebijakan pemerintah melalui partisipasi aktif umat Islam dalam Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim, yang berfungsi sebagai lembaga pengadilan terhadap tindakan zalim atau sewenang-wenang dari para pemimpin. Ini menunjukkan keseimbangan penting antara kekuasaan pemerintah dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan yang adil.
Selain itu, sistem Khilafah juga menonjolkan keunggulan dalam bidang ekonomi yang bertentangan dengan sistem kapitalisme yang sering kali menimbulkan kesenjangan dan eksploitasi. Ekonomi dalam Khilafah berlandaskan prinsip-prinsip Islam, melalui distribusi keadilan, larangan riba (bunga), dan pengaturan kepemilikan serta produksi yang bertujuan mencapai kesejahteraan umat secara merata. Sistem ini menolak dominasi kepemilikan yang terpusat dan eksploitasi tanpa batas, menggantinya dengan mekanisme sosial yang menyeimbangkan kepentingan individu dan masyarakat, serta menanamkan nilai-nilai etik dan spiritual dalam setiap aktivitas ekonomi. Dengan demikian, ekonomi Khilafah berperan sebagai instrumen untuk mengurangi jurang kesenjangan sosial serta menjaga stabilitas dan keadilan ekonomi secara berkelanjutan.
Sistem Khilafah bukan sekadar konsep teoritis, melainkan memiliki jejak sejarah panjang yang menjadi bukti keberhasilan serta kestabilannya. Pada masa kejayaannya, Khilafah bertahan lebih dari 1300 tahun dan menguasai wilayah yang sangat luas, mencakup hampir dua pertiga dunia kala itu, dengan berbagai kemajuan peradaban yang gemilang. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan Islam yang berlandaskan nilai-nilai ilahi dapat menciptakan tatanan sosial yang harmonis, adil, dan berkelanjutan.
Sehingga keberadaan Khilafah menjadi contoh nyata bagaimana penerapan hukum Allah secara menyeluruh mampu menjadi fondasi kokoh dalam mewujudkan keadilan serta kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, sistem Khilafah tidak sekadar alternatif pengganti demokrasi, melainkan jalan hakiki untuk mewujudkan dunia yang adil dan stabil, sekaligus membuka peluang bagi terciptanya dunia yang makmur dan damai.
Wallahu'alam bisshawab.
Via
Opini
Posting Komentar