OPINI
Ruang Digital Anak Butuh PP Tunas, Benarkah ?
Oleh: Dwi R. Djohan
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Tidak kaget jika generasi sekarang sudah tidak asing dengan yang namanya gadget. Bahkan anak usia balita pun sudah dikenalkan oleh orang tuanya dengan gadget dengan berbagai alasan. Seolah-olah mereka sudah menciptakan ruang digital sendiri, di sinilah perhatian negara seharusnya muncul.
Ruang digital yang diciptakan anak ternyata sangat rentan bagi mereka sendiri. Dengan keterbatasan ilmu dan pengalaman, ruang digital itu bisa memberikan efek negatif seperti paparan konten pornografi, bullying, gaya hidup liberal atau mungkin hal-hal yang bisa merapuhkan mental mereka dan mempertebal emosi atau perasaan mereka atau bisa jadi yang lebih parah yaitu aksi bunuh diri. Naudzubillah. Efek tersebut bisa dengan sangat cepat berpengaruh, mengingat kedekatan mereka dengan gadget, apalagi jika tanpa pendampingan orang tua.
Ketergantungan dengan ruang digital pun tak terelakkan. Ketergantungan itu memengaruhi kehidupan mereka. Bahkan tak jarang ruang digital menjadi rumah kedua bagi mereka dan sebagian besar waktu mereka dihabiskan di sana, seperti mencari bahan belajar, berinteraksi dengan teman, mencari hiburan, mengikuti yang sedang trend saat ini, mencari lowongan pekerjaan, mencari jodoh, atau sekadar menyalurkan hobi.
Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak memungkiri bahwa gadget dituntut untuk hadir dalam keseharian mereka. Jika generasi bijak, maka gadget akan sangat bermanfaat. Bukan hanya untuk aktivitas yang dilakukan di atas tetapi juga lebih pada bersuara tentang ide yang ada di kepala. Apa pun ide itu. Apalagi jika ide itu sangat bermanfaat untuk orang lain. Seperti video tentang memasak, berkebun, prakarya, membuat tulisan, dan jualan.
Tetapi bila disimak dengan saksama, ruang digital anak sangat rawan menimbulkan masalah. Melansir dari Indonesia.go.id (12-11-2025), masalah yang akan dihadapi anak dalam ruang digitalnya meliputi kesehatan mental dan emosional, perkembangan kognitif, ancaman dan konten berbahaya bahkan menimpa kesehatan fisik mereka.
Penyebabnya tidak lain adalah desain platform di mana mendorong penggunaan tanpa henti, kurangnya pendampingan orang tua dan pengarahan saat penggunaan serta algoritma agresif pada media sosial yang menargetkan anak pada konten yang tidak sehat (muslimahnews.net 13-12-2025).
Itulah penyebab, ruang digital bagi anak perlu jaminan aman dari negara. Maka negara membuat PPT Tunas, apa itu? Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menerbitkan PP No 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS) pada tanggal 28 Maret 2025 tetapi baru berlaku pada tanggal 1 April 2025 dengan harapan negara bisa menciptakan ruang digital yang aman, sehat dan berkeadilan bagi anak-anak serta kelompok rentan (nasional.kompas.com, 6-12-2025).
Diterbitkannya PP Tunas ini adalah wujud keseriusan negara dalam upaya perlindungan anak dari kejahatan di ruang digital serta memastikan mereka tumbuh dan berkembang dengan aman dari pengaruh digital yang makin kompleks. Secara khusus, PP Tunas memberi peraturan pada platform untuk melakukan penyaringan konten, menyediakan mekanisme pelaporan yang mudah diakses, memastikan proses remediasi yang cepat dan transparan, mewajibkan memverifikasi usia pengguna serta menerapkan pengamanan teknis untuk memitigasi risiko. Jika ada platform yang melanggar maka akan ada sangsi adminitrasi, salah satunya pemutusan akses layanan. Dengan begitu, ekosistem digital di Indonesia akan lebih aman dan beretika.
Pemaparan mengenai PP Tunas di atas sangatlah mudah dipahami, tetapi masih membingungakan saat ditemui di lapangan. Contohnya mengenai pemakai akses. Jika ada regulasi pembatasan antara pengguna usia di bawah 13 tahun, usia antara 13-15 tahun, usia 16-17 tahun dan 18 tahun ke atas, tetapi tidak ditentukan platform apa saja yang sesuai dengan pembatasan tersebut. Jika tidak ada kejelasan, berpeluang disalahgunakan untuk menekan pihak tertentu. Perlindungan anak di ruang digital memang mendesak tetapi butuh kehati-hatian dalam mekanismenya agar masalah baru tidak muncul.
Manusia dengan anugerah yang dimilikinya yaitu akal, membuat dirinya mulia untuk memimpin bumi Allah ini. Oleh karena itu, akal sangat dibutuhkan manusia untuk menciptakan peradabannya melalui perilaku keseharian. Perilaku manusia itu sendiri dipengaruhi oleh pemahaman yang dimiliki bukan platform atau media sosial yang mengelilingnya. Dan pemahaman itu dibentuk dari aqidah/keimanan yang benar. Sedang platform atau media sosial dipengaruhi atau dibentuk oleh ideologi yang mengelilingi dan ideologi itu yang menjalankan adalah manusia.
Di sinilah peran negara dibutuhkan. Bukan dengan melakukan pembatasan penggunaan media sosial saja, karena itu bukanlah solusi yang komprehensif. Negara harus membangun benteng keimanan yang kokoh pada generasi muda melalui sistem pendidikan sehingga mereka tahu bagaimana mereka seharusnya bersikap. Dalam negara yang bersistem Islam atau Khilafah, bukan hanya pendidikan yang diperhatikan, tetapi juga seluruh aspek yang berkaitan dengan generasi agar mereka terbentuk menjadi sosok yang taat dan tangguh. Taat bukan pada saat dilihat orang tetapi taat saat sendiri dalam beramal karena selalu merasa Allah melihatnya dan kelak akan meminta pertanggungjawaban atas setiap amal yang telah dia lakukan. Itulah alasan, mengapa hanya Khilafah yang bisa menyelamatkan generasi.
Wallahu a’lam.
Via
OPINI
Posting Komentar