OPINi
Hari Ini, Manusia Terasa lebih Menakutkan daripada Setan
Oleh: Gesti Ghassani
(@gegeyys, Aktivis Muslimah)
TanahRibathMedia.Com—Ada masa ketika kita begitu takut pada cerita hantu atau fenomena ghaib yang diceritakan orangtua atau teman. Namun hari ini, manusia terasa lebih menakutkan daripada setan. Setan menakut-nakuti lewat bisikan, tapi manusia menyakiti dengan tangan, lidah, dan hatinya.
Di layar berita, darah seolah jadi tontonan harian. Seorang suami membakar istrinya, seorang ayah menodai anak kandungnya, seorang remaja membunuh temannya hanya karena tersinggung. Semua itu bukan kisah di film horor, tapi berita nyata yang kita baca hampir setiap hari.
Data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) menunjukkan, sepanjang Januari hingga awal September 2025, jumlah kasus KDRT di Indonesia terus meningkat. Puncaknya terjadi pada bulan Juli, dengan 1.395 perkara dalam sebulan (Goodstats, 19-09-2025).
Sementara di sisi lain, kasus kekerasan yang dilakukan remaja pun melonjak. Bocah SD dibunuh oleh remaja, pelajar SMP meninggal karena dikeroyok teman sekolahnya. Anak-anak kini tumbuh di lingkungan yang lebih bising oleh amarah daripada kasih sayang. Dunia seakan kehilangan nurani.
Akar dari Kehilangan Nurani
Banyak orang menyalahkan emosi, ekonomi, atau kurangnya edukasi. Tapi kalau kita lihat lebih dalam, akar dari semua ini justru menyentuh sepek sistemik dan ideologis.
Pertama, karena sekularisme telah menyingkirkan nilai agama dari kehidupan. Manusia tumbuh tanpa rasa takut kepada Allah, tanpa kesadaran bahwa setiap perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban. Keluarga kehilangan arah, kehilangan makna takwa, kehilangan tanggung jawab moral.
Kedua, pendidikan sekuler-liberal menanamkan kebebasan tanpa batas. Anak-anak dibesarkan dengan prinsip “hidupku, pilihanku,” tanpa bimbingan nilai yang kokoh. Mereka mengenal hak, tapi tidak kewajiban. Mereka pandai berbicara, tapi miskin rasa malu dan empati.
Ketiga, materialisme menjadikan kebahagiaan bersifat duniawi. Rumah tangga bukan lagi tempat beribadah, tapi ajang pembuktian siapa yang paling kuat dan paling mampu. Ketika uang menipis, cinta ikut pudar. Tekanan hidup sedikit saja, bisa berubah jadi kekerasan.
Keempat, negara abai. Undang-Undang PKDRT hanya menjadi alat penghukuman, bukan penyembuhan. Ia menindak pelaku, tapi tidak menyentuh akar masalah. Bagaimana bisa ketahanan keluarga tegak, jika sistem yang menopangnya rusak sejak fondasinya?
Cahaya dari Islam
Islam memandang keluarga bukan sekadar urusan pribadi, tapi fondasi peradaban. Maka solusi Islam tidak berhenti pada hukum, tetapi menyentuh jiwa dan sistem sosialnya sekaligus. Dalam pendidikan Islam, anak-anak tidak hanya belajar teori dari buku pelajaran. Mereka dididik untuk mengenal peran hidupnya. Para gadis dipersiapkan menjadi ibu dan pendidik generasi, bukan karena dibatasi tapi karena peran itu adalah kemuliaan.
Mereka belajar bagaimana menjadi istri yang salihah, ibu yang lembut namun tangguh. Sementara para lelaki dipersiapkan menjadi pemimpin, pelindung, dan penanggung jawab.
Dalam sistem keluarga Islam, syariat menetapkan peran sesuai fitrah. Beban nafkah ada di pundak suami. Maka negara Islam akan memastikan para lelaki mendapatkan pekerjaan yang layak.
Tidak seperti sekarang, di mana perempuan terpaksa bekerja demi bertahan hidup, sementara suaminya kehilangan harga diri dan maknanya sebagai qawwam (pemimpin keluarga). Seorang istri yang tidak terbebani urusan ekonomi tentu akan lebih tenang, lebih bahagia, dan bisa fokus menjalankan perannya dalam mendidik anak-anak dengan kasih sayang.
Dalam sistem negara Islam, negara berfungsi sebagai raa’in yakni pelindung dan pengurus rakyat. Ia memastikan keadilan dan kesejahteraan, sehingga tidak ada keluarga yang runtuh karena lapar atau tekanan ekonomi. Negara juga menegakkan hukum sanksi Islam, bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menumbuhkan rasa takut kepada Allah dan menjaga masyarakat dari kerusakan yang lebih besar.
Bayangkan kehidupan di mana suami takut menyakiti istri karena sadar Allah mengawasinya, bukan sekadar karena takut dipenjara.
Bayangkan anak-anak tumbuh dengan teladan cinta dan tanggung jawab, bukan dengan tontonan kekerasan.
Bayangkan keluarga yang diikat bukan hanya oleh cinta, tapi oleh iman.
Itulah keindahan syariat: menata hidup dengan kasih, bukan paksaan. Mengembalikan manusia kepada fitrahnya. Karena sesungguhnya, Islam tidak hanya ingin menyelamatkan manusia dari neraka, tapi juga dari penderitaan hidup yang tanpa arah di dunia.
Namun, semua itu masih sebatas teori selama sistem Islam belum benar-benar tegak di bumi ini. Selama hukum Allah hanya dijadikan pilihan, bukan landasan hidup. Sistem Islam yang bernama Khilafah adalah satu-satunya wadah yang mampu mewujudkan seluruh keindahan itu dalam kenyataan.
Sayangnya, justru sistem inilah yang kini paling diragukan, bahkan oleh umat Islam sendiri. Padahal Khilafah bukan ancaman, melainkan rahmat. Ia bukan mimpi masa lalu, tapi janji masa depan yang akan Allah tunaikan. Barangkali, tugas kita hari ini adalah membersihkan hati, meluruskan pandangan, agar ketika janji itu dating, kita termasuk di antara yang siap menyambutnya.
Via
OPINi
Posting Komentar