SP
BLT dan Magang Nasional: Obat Luka yang Tak Menyembuhkan
TanahRibathMedia.Com—Ketika pemerintah mengumumkan program bantuan langsung tunai (BLT) senilai Rp30 triliun dan program magang nasional bagi seratus ribu fresh graduate, sekilas tampak seperti angin segar. Seakan-akan, rakyat kecil dan para pencari kerja akan segera tersenyum kembali. Namun, di balik gemerlap angka dan jargon “stimulus ekonomi”, sesungguhnya ada luka struktural yang belum tersentuh—dan tak akan sembuh hanya dengan plester bantuan sementara. (Antaranews.com, 20-10-2025).
Sebagai seorang ibu, saya paham betul makna menolong. Kadang kita memberikan uang jajan kepada anak, tetapi yang sesungguhnya mereka butuhkan adalah bimbingan, pendidikan, dan sistem hidup yang membuat mereka mandiri. Begitu pula dengan rakyat: mereka tidak membutuhkan “uang sesaat” yang segera habis di pasar, melainkan sistem ekonomi yang menyehatkan, adil, dan berkeadilan hakiki.
Program magang nasional dan BLT sejatinya merupakan quick wins—program cepat yang diciptakan untuk menenangkan gejolak, bukan untuk menyelesaikan akar masalah. Pemerintah memang terlihat bekerja, tetapi kemiskinan dan pengangguran tetap berjalan di tempat. Sebab, cara pandang yang digunakan masih berpijak pada logika kapitalisme sekuler: ekonomi dilihat dari sisi manfaat sesaat, bukan sebagai tanggung jawab negara untuk menjamin kesejahteraan warganya secara hakiki.
Padahal, negara kita kaya raya. Tanahnya subur, lautnya luas, gunungnya menyimpan emas, nikel, dan batu bara. Energi melimpah, sumber daya alam berlimpah, dan manusia Indonesia dikenal tangguh serta kreatif. Namun, kekayaan itu tak pernah dikelola sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagian besar justru dikuasai oleh korporasi besar, baik asing maupun dalam negeri, yang menikmati hasil bumi tanpa memberi kesejahteraan nyata bagi masyarakat.
Jika kekayaan ini dikelola sesuai sistem Islam, niscaya tidak akan ada rakyat yang hidup miskin di negeri sekaya Indonesia. Islam telah menata sistem kepemilikan dan distribusi harta secara adil serta bermartabat. Negara wajib menjadi pelayan rakyat (rā‘in), bukan sekadar penonton yang menyalurkan bantuan sesekali.
Dalam paradigma Islam, negara bukan sekadar fasilitator ekonomi, melainkan pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Islam mengatur ekonomi dengan tiga prinsip utama:
Kepemilikan yang jelas — membedakan antara milik individu, milik umum, dan milik negara.
Distribusi kekayaan yang adil, agar harta tidak hanya berputar di tangan segelintir orang.
Peran negara yang aktif dalam menjamin kebutuhan dasar rakyat seperti pangan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Solusi Islam bukan sekadar stimulus, melainkan sistemik dan berjangka panjang. Negara mengelola sumber daya alam sebagai amanah, bukan komoditas. Dana publik digunakan untuk menciptakan lapangan kerja yang nyata, bukan magang sementara. Dengan begitu, rakyat tidak hanya “diberi ikan”, tetapi dijamin aksesnya untuk memancing dengan sistem yang adil dan penuh berkah.
Selama paradigma ekonomi yang digunakan masih kapitalistik, maka kebijakan seindah apa pun hanya akan menjadi obat luka di permukaan. Islam tidak menolak bantuan bagi yang lemah, tetapi Islam menolak sistem yang membuat rakyat terus bergantung dan tidak berdaya.
Sebagai seorang ibu, saya tak ingin anak-anak bangsa ini hidup dari bantuan ke bantuan, dari magang ke magang, tanpa kepastian masa depan. Saya ingin mereka tumbuh di bawah sistem yang menumbuhkan martabat, bukan menggantungkannya pada belas kasihan negara.
Sudah saatnya kita memandang masalah ekonomi bukan dengan kacamata pragmatis, tetapi dengan pandangan ideologis: bahwa kesejahteraan sejati hanya mungkin lahir dari penerapan sistem Islam secara menyeluruh. Negara dalam Islam bukan sekadar memberi, tetapi menjamin. Bukan sekadar hadir, tetapi memelihara.
Mutmainah Iin
(Sahabat Tanah Ribath Media)
Via
SP
Posting Komentar