SP
Antikorupsi Tak Cukup hanya dengan Kampanye
TanahRibathMedia.Com—Langkah Kejati Kepri yang turun langsung ke lapangan untuk menanamkan semangat antikorupsi tentu patut diapresiasi. Edukasi kepada masyarakat tentang bahaya korupsi memang penting, karena korupsi telah menjadi penyakit kronis yang melemahkan bangsa dari dalam. Namun, pertanyaan yang muncul adalah: apakah kampanye semangat anti-korupsi benar-benar mampu menekan angka korupsi di negeri ini?
Faktanya, meskipun berbagai sosialisasi, seminar, hingga gerakan moral digelar setiap tahun, kasus korupsi justru terus meningkat. Dari pejabat tinggi, kepala daerah, hingga aparat, banyak yang masih tergoda untuk menyelewengkan uang rakyat. Mengapa? Karena sanksi hukum yang diterapkan belum benar-benar menimbulkan efek jera.
Selama hukuman masih bisa dinegosiasi, dikurangi, atau bahkan “dimaafkan”, korupsi akan terus menjamur.
Dalam pandangan Islam, korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi dosa besar yang merusak keadilan dan kepercayaan publik. Islam menegaskan bahwa kejahatan seperti ini harus ditegakkan dengan sanksi tegas (hudud) — bukan untuk sekadar menghukum, tetapi juga untuk menebus dosa (jawabir) dan memberikan efek jera (zawajir) bagi masyarakat agar tidak mengulanginya. Inilah keunikan hukum Islam, yang tidak hanya menindak pelaku, tapi juga menyucikan jiwa dan menjaga keutuhan sosial.
Pada masa kekhilafahan Islam, penegakan hukum terhadap pelaku korupsi dilakukan dengan sangat tegas dan adil. Salah satu contohnya terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Beliau dikenal sangat ketat dalam mengawasi para pejabatnya. Ketika ditemukan pejabat yang hartanya meningkat secara mencurigakan selama menjabat, Umar memerintahkan agar sebagian harta tersebut disita dan dikembalikan ke baitul mal, karena dianggap hasil dari penyalahgunaan wewenang. Bahkan, jika terbukti mengambil harta rakyat secara zalim, pelaku tidak hanya diwajibkan mengembalikan hasil korupsinya, tetapi juga dikenai hukuman tambahan berupa cambuk atau penjara sebagai bentuk efek jera. 
Pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, tindakan serupa juga diterapkan — beliau menegur keras dan mencopot pejabat yang terbukti berkhianat dalam mengelola harta negara. Semua ini menunjukkan bahwa dalam hukum Islam, korupsi dipandang sebagai pengkhianatan terhadap amanah Allah dan umat, sehingga hukumannya tidak hanya bersifat duniawi, tetapi juga bermakna moral dan spiritual untuk menegakkan keadilan sosial.
Akar masalah terjadinya korupsi sebenarnya terletak pada penerapan sistem sekuler kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam sistem ini, ukuran keberhasilan seseorang diukur dari materi dan kekuasaan, bukan dari nilai moral atau ketakwaan. Akibatnya, jabatan dan kekayaan sering dianggap sebagai sarana untuk memenuhi kepentingan pribadi, bukan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Sistem kapitalis juga menciptakan kesenjangan sosial yang lebar, membuka peluang bagi orang-orang berkuasa untuk memanipulasi hukum demi keuntungan sendiri. Tanpa landasan nilai ilahiah, hukum menjadi lemah, mudah ditawar, dan tidak lagi menjadi alat keadilan. Inilah sebabnya mengapa korupsi terus tumbuh subur di tengah masyarakat modern — karena akar ideologinya telah tercerabut dari nilai-nilai tauhid yang menempatkan Allah sebagai pengawas dan hakim tertinggi atas setiap perbuatan manusia.
Artinya, pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan slogan dan kampanye moral. Diperlukan sistem hukum yang tegas, adil, dan berpihak pada kebenaran — sistem yang tidak bisa dibeli dan tidak pandang bulu. Hanya dengan penerapan hukum Islam secara menyeluruh, korupsi bisa diberantas dari akarnya. Karena Islam tidak hanya melarang, tapi juga menata seluruh aspek kehidupan agar masyarakat takut berbuat zalim dan sadar bahwa setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Ilma Nafiah 
(Muslimah Peduli Generasi)
Via
SP
 
Posting Komentar