Opini
Pajak Disamakan dengan Zakat adalah Penyesatan
Oleh: Feby Catharina
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Membayar pajak sama dengan menunaikan zakat dan wakaf, itulah yang diusung oleh Menteri Keuangan RI Sri Mulyani pada Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025 pada hari Rabu tanggal 13 Agustus 2025.
Menurutnya, pajak, zakat, dan wakaf memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menyalurkan sebagian harta kepada pihak yang membutuhkan (CNBC Indonesia, 14 Agustus 2025).
Disisi lain, Celios (Center of Economic and Law Studies) mengusulkan 10 objek pajak baru yang dapat menghasilkan 388,2T kepada Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu.
Usulan tersebut adalah:
1. Pajak Kekayaan yang berpotensi memperoleh penerimaan sekitar Rp.81,6T
2. Pajak Karbon yang berpotensi memperoleh penerimaan sekitar Rp.76,4T
3. Pajak Produksi Batubara, berpotensi memperoleh penerimaan Rp.66,5T
4. Pajak Windfall Profit (keuntungan besar tak terduga akibat keadaan yang menguntungkan), berpotensi memperoleh penerimaan Rp.50 T
5. Pajak Penghilangan Keanekaragaman Hayati, berpotensi memperoleh penerimaan dari kompensasi kerusakan keanekaragaman hayati sebesar Rp.48,6T
6. Pajak Digital (aktivitas ekonomi yang dilakukan melalui platform digital), berpotensi menghasilkan penerimaan sebesar Rp.29,5T
7. Pajak Warisan, berpotensi menghasilkan penerimaan sebesar Rp.20 T
8. Pajak Rumah ke-3, berpotensi menghasilkan penerimaan sebesar Rp.4,7T
9. Pajak Capital Gain (keuntungan yang diperoleh dari selisih harga jual dan harga beli saham), berpotensi menghasilkan penerimaan sebesar Rp.7T
10. Pajak Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK), berpotensi menghasilkan penerimaan sebesar Rp.3,9T serta dapat mencegah penyakit Diabetes
(CNN Indonesia, Selasa 12 Agustus 2025).
Hal di atas membuktikan bahwa negara kita menerapkan sistem ekonomi kapitalis di mana pajak dijadikan tulang punggung ekonomi negara. Negara terus menerus merekayasa pemungutan pajak dari rakyat sehingga rakyat dengan terpaksa harus menyerahkan hartanya demi membayar pajak, akibatnya rakyat semakin terpuruk, terhimpit dan tercekik dengan berbagai pungutan pajak.
Sedangkan para kapitalis (pemilik modal) semakin kaya dan menguasai ekonomi negeri dengan fasilitas istimewa yang diberikan negara semakin mengukuhkan mereka sebagai penguasa ekonomi. Tidak hanya fasilitas istimewa tapi kebijakan UU juga berpihak pada kepentingan pemilik modal yang mengakibatkan kepentingan masyarakat terabaikan.
Sungguh itu merupakan hal yang zalim karena hasil pungutan pajak tidak dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan dialirkan untuk proyek-proyek yang menguntungkan para kapitalis seperti contohnya pengampunan pajak (amnesty tax).
Jika dipikir dengan logika, amnesty tax seharusnya diberikan pada rakyat yang tidak mampu, bukan pada para pemilik modal yang notabene sudah kaya dan memiliki banyak fasilitas kemudahan dari negara, justru mereka yang seharusnya menjadi target pajak.
Dalam Islam pajak berbeda dengan zakat dan wakaf. Zakat adalah sebagian dari harta yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim apabila sudah mencapai syarat (nishab dan haul) yang sudah ditetapkan oleh syariat.
Zakat merupakan salah satu sumber pemasukan Baitul Maal (kas negara) yang hasil penerimaannya dibagikan pada 8 golongan (asnaf) yaitu: fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, gharimin, fisabilillah dan ibnu sabil (At Taubah ayat 60). Selain dari ke 8 golongan itu tidak dapat menerima zakat.
Wakaf adalah hak pribadi yang dipindah tangankan menjadi kepemilikan umum atau lembaga untuk dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat. Wakaf ini adalah sunnah, bukan suatu kewajiban. Sedangkan pajak dalam Islam diberlakukan hanya dalam keadaan sangat darurat, seperti jihad dan bencana alam.
Pajak juga diambil disaat keadaan kas negara (Baitul Mal) sedang kosong dan yang dikenakan pajak hanyalah laki-laki muslim yang kaya saja.
Baitul Mal (kas negara) memiliki banyak sumber pemasukan, tidak bergantung pada zakat saja. Diantaranya sumber pemasukan Baitul Mal adalah: kharaj (cukai hasil tanah yang dikenakan atas nonmuslim), jizyah (pajak yang dikenakan atas penduduk nonmuslim pada suatu negara di bawah peraturan Islam) dan sumber daya alam sebagai kepemilikan umum.
Dalam Islam pengelolaan sumber daya alam tidak boleh dikelola oleh swasta atau asing, melainkan dikelola oleh negara untuk digunakan mensejahterakan rakyat.
Sehingga dengan penerapan sistem ekonomi Islam kaffah dalam sistem khilafah dapat mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Wallahu a’lam bi ash shawab.
Via
Opini
Posting Komentar