Opini
Perundungan Menjadi Ancaman Nyata Generasi Bangsa
Oleh: Najah Ummu Salamah
(Komunitas Penulis Peduli Umat)
TanahRibathMedia.Com—Beberapa waktu yang lalu, sempat viral di media sosial perundungan terhadap seorang anak berusia sekitar 13 tahun di Desa Bumiwangi, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung. Pelakunya tidak lain adalah dua teman korban, dan satu orang dewasa berusia sekitar 20 tahun
Para pelaku memaksa korban meminum minuman keras dan menceburkannya ke dalam sumur ketika menolak. Bahkan sebelumnya, pelaku sempat memaksa korban merokok dan menendang korban hingga kepalanya berdarah. Saat ini, kasus tersebut masih dalam penanganan Satreskrim Polresta Bandung (cnnindonesia.com, 26-6-2025).
Selain kasus tersebut, beberapa kasus perundungan lainnya juga marak terjadi, baik di lingkungan kerja, pendidikan, dan media sosial.
Perundungan adalah Tindakan Berbahaya
Menurut Wikipedia, perundungan (bullying) adalah tindakan secara agresif melukai atau mengintimidasi seseorang tertentu secara berulang-ulang. Pelakunya biasanya memiliki relasi kuasa yang lebih tinggi dari korban. Perundungan bisa terjadi secara emosi, verbal, fisik dan media siber (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Perundungan).
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), melaporkan bahwa data jenis perundungan yang sering dialami korban adalah perundungan fisik (55,5%), perundungan verbal (29,3%), dan perundungan psikologis (15,2%). Korban terbanyak adalah anak dengan status tingkat jenjang pendidikan SD (26%), disusul siswa SMP (25%), dan siswa SMA (18,75%) (https://sekolahrelawan.org).
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) memantau bahwa kasus perundungan terus mengalami kenaikan setiap tahun. Pada 2024, terdapat 573 kasus kekerasan. Padahal tahun 2023 kasus perundungan masih sejumlah 285. Data ini meliputi kasus perundungan di lingkungan pendidikan saja. Belum di lingkungan kerja, masyarakat, dan lainnya (Tirto.id, 30-12-2025).
Perundungan berdampak sangat fatal bagi mental dan fisik korban. Dampak negatifnya bisa menganggu interaksi sosial di dunia nyata maupun dunia maya. Beberapa korban ada juga yang sampai mengalami trauma baik secara psikologis dan kecacatan fisik seumur hidup hingga kematian.
Sebagai contoh pada kasus yang terjadi di Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung tersebut, pelaku menggunakan alkohol yang jelas-jelas diharamkan dalam Islam. Selain itu, tindakan pelaku juga sangat mengancam nyawa korban.
Saat interaksi sosial berlandaskan pemisahan agama dari kehidupan (sekuler). Kasus perundungan tidak terelakan. Saat seseorang memiliki relasi kuasa yang lebih tinggi, maka akan selalu menjadi privileg melakukan tindakan bullying.
Selain itu sistem kapitalis, dengan segala kebebasan berbicara dan berperilaku, menjadi lahan subur kasus perundungan. Selama tidak ada laporan korban kepada pihak berwenang dan sanksi yang tidak tegas. Aksi perundungan akan terus terjadi dan bahkan bisa meningkat jumlahnya.
Perundungan Butuh Solusi
Tren kenaikan data kasus perundungan sangat mengkhawatirkan pihak orangtua, guru, siswa, dan masyarakat. Lebih-lebih dari data menunjukkan perundungan fisik lebih besar. Serta korban dan pelakunya paling banyak di tingkat usia Sekolah Dasar.
Oleh karenanya kasus perundungan tidak hanya butuh solusi permukaan, tetapi butuh solusi mendasar dari Islam, beberapa di antaranya adalah:
Pertama, setiap orang tua harus melandasi pola asuh dengan akidah Islam. Menekankan ketaatan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Sehingga setiap anak akan memiliki kepribadian Islam, tdak takut beramar makruf dan nahi mungkar.
Kedua, masyarakat menjadi penjaga dan mengawasi lingkungan. Terutama peran sekolah atau lembaga pendidikan melakukan penjagaan dengan cara meletakkan paradigma pendidikan berdasarkan akidah Islam dalam membentuk pola pikir dan pola sikap Islam. Dengan paradigma pendidikan tersebut setiap anak akan selalu termotivasi menjadi orang yang bermanfaat bagi yang lain semata karena Allah Swt. sehingga tidak mungkin dia menyakiti pihak lain. Sembari dia tetap menolak berbagai perundungan pada dirinya.
Selanjutnya, akan terwujud suasana saling tolong menolong (ta'awun), saling menghargai, sikap lemah lembut pada orang lain, tidak menyakiti dan menakut-nakuti orang lain, serta tegas terhadap kemaksiatan. Masyarakat berperan penting sebagai pihak yang mengawasi aksi perundungan dan melaporkan kepada pihak berwenang. Melakukan aktivitas dakwah, beramar makruf nahi munkar.
Ketiga, negara dalam hal ini memiliki peran yang besar dengan menerapkan sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan dengan paradigma akidah Islam. Sehingga tercipta generasi yang fokus beramal sholih dan menebar manfaat bagi semua pihak. Bukan generasi pembully. Selain itu, negara harus melakukan pembinaan ke semua lapisan masyarakat, menegakkan sistem sanksi dan hukuman yang membuat pelakunya jera. Apalagi bila pelakunya sudah Akil baligh.
Kerjasama semua pihak, yaitu orangtua, masyarakat termasuk di dalamnya lembaga pendidikan dan peran negara tersebut hanya bisa seiring sejalan jika syari'at Islam kaffah diterapkan dalam sistem Khilafah. Sehingga kasus perundungan mendapatkan solusi tuntas.
Wallahu alam bishowab.
Via
Opini
Posting Komentar