Opini
Korupsi Makin Menjerat, Hanya Islam Solusi Hakiki
Oleh: Anggun Istiqomah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Kasus korupsi kembali mengguncang masyarakat Indonesia. Belum lama ini, media diramaikan dengan mencuatnya skandal korupsi EDC di bank BRI yang mencapai nilai fantastis, yaitu Rp 2,1 triliun. Berdasarkan informasi yang dilansir dari beritasatu.com (30 Juni 2025), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan telah mencegah 13 orang bepergian ke luar negeri terkait kasus ini. Selain itu, KPK juga tengah mengusut dugaan korupsi pada pengadaan EDC Bank pelat merah untuk periode 2020-2024.
Tak berhenti di situ, dilansir dari kumparan.com (4 Juli 2025) publik juga dikejutkan oleh kasus jalan di Sumatera Utara yang membuka praktik kongkalikong dan rekayasa e-katalog demi keuntungan oknum-oknum tertentu. Ironisnya, hal ini terjadi di saat pemerintah sedang gencar-gencarnya menyuarakan mengenai efisiensi anggaran. Akibatnya, hak dasar rakyat terpaksa dikorbankan. Berbagai sektor vital seperti jaminan kesehatan (PBI), tunjangan kinerja guru, dana bansos, hingga pendanaan riset dan militer, mengalami pemotongan yang signifikan.
Fenomena ini menunjukkan betapa sistem demokrasi sekuler kapitalistik telah gagal total dalam mengurus rakyat. Sistem ini bukan hanya gagal memberantas korupsi, tetapi justru subur menjadi ladang transaksi politik dan memperkuat oligarki. Kekuasaan yang seharusnya menjadi amanah justru berubah menjadi alat transaksi antara para pejabat dengan pemilik modal.
Demokrasi yang katanya "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat", pada kenyataannya berubah menjadi "dari oligarki, oleh oligarki, untuk oligarki". Politik transaksional menjelma sebagai budaya, mengakibatkan suburnya praktik suap, gratifikasi, hingga manipulasi anggaran demi kepentingan segelintir elite. Sementara itu, rakyat harus menanggung akibatnya berupa layanan publik yang minim, pendidikan yang mahal, dan akses kesehatan yang kian terpinggirkan serta kehidupan yang semakin mencekik.
Berbeda dengan sistem kapitalistik sekuler yang gagal membangun moral dan keadilan, Islam menawarkan sistem yang berlandaskan akidah, yakni sistem Islam kaffah. Islam tidak hanya sekedar agama ritual, tetapi juga sistem hidup yang menyeluruh (kaffah), termasuk dalam urusan pemerintahan, ekonomi, politik, hingga pengelolaan harta publik.
Dalam Islam, kepemimpinan diibaratkan sebagai amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. Rasulullah ï·º bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Prinsip ini menanamkan rasa takut kepada Allah dalam diri para pemimpin, sehingga mencegah mereka dari perilaku curang atau korupsi.
Islam menerapkan sistem hukum yang tegas dalam menangani korupsi. Hukum hudud dan ta'zir yang diterapkan secara adil dan menyeluruh mampu memberikan efek jera bagi para pelaku, sekaligus menutup peluang munculnya tindak kejahatan serupa. Dalam sistem Islam, pejabat yang terbukti menyalahgunakan jabatan atau mencuri harta umat akan dihukum tanpa pandang bulu. Tidak ada istilah kebal hukum atau perlindungan khusus bagi pejabat tinggi.
Selain sanksi tegas, Islam juga menetapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang melekat pada setiap pengelolaan harta publik. Khalifah atau pemimpin wajib melaporkan harta pribadinya sebelum dan setelah menjabat, sehingga publik dapat mengawasi dan mencegah potensi penyelewengan. Pengawasan ini bukan hanya formalitas, tetapi menjadi bagian dari sistem amar ma'ruf nahi munkar yang dijalankan secara kolektif oleh masyarakat.
Sejarah Islam membuktikan bahwa sistem Khilafah Islamiyah mampu menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera, dan nyaris tanpa korupsi. Pada masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, misalnya, kesejahteraan umat mencapai puncaknya hingga sulit ditemukan orang yang layak menerima zakat. Tidak hanya itu, keamanan dan kejujuran aparat negara pun terjaga dengan baik. Bahkan, banyak pejabat pada masa itu yang enggan menerima jabatan karena khawatir akan beratnya pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Hal ini menunjukkan bahwa penerapan Islam kaffah bukan sekadar idealisme kosong, melainkan solusi nyata dan telah terbukti sukses selama berabad-abad. Sistem Islam tidak hanya mencegah kerusakan, tetapi juga membangun masyarakat yang bertakwa, produktif, dan saling menasihati dalam kebaikan. Dengan demikian, masyarakat akan terhindar dari kerusakan moral yang menjadi akar maraknya korupsi.
Korupsi yang kian menggila hari ini adalah sinyal kuat bahwa kita membutuhkan perubahan mendasar. Bukan sekadar rotasi pejabat, bukan juga hanya dengan revisi undang-undang, melainkan ganti sistem. Umat harus menyadari bahwa hanya dengan Islam kaffah, keadilan dan kesejahteraan hakiki bisa terwujud. Sistem ini menutup celah transaksi gelap dan memastikan harta negara kembali kepada rakyat yang berhak.
Kini, saatnya kita berhenti berharap pada sistem yang rapuh dan menjerumuskan. Saatnya umat kembali pada Islam sebagai satu-satunya solusi hakiki. Islam tidak hanya mengatur ibadah individu, tetapi juga memiliki aturan rinci dalam politik, ekonomi, hukum, hingga hubungan internasional. Dengan demikian, seluruh potensi umat bisa dikerahkan untuk membangun peradaban yang penuh keberkahan dan menebar rahmat bagi seluruh alam.
Semoga Allah Swt. membukakan hati kita untuk berjuang menerapkan Islam secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan itulah, masyarakat bebas dari korupsi, hidup dalam keadilan, dan meraih kesejahteraan yang sebenarnya.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Via
Opini
Posting Komentar