Opini
Korupsi Sistemik, Butuh Solusi Sistemik
Oleh: Nettyhera
(Pengamat Kebijakan Publik)
TanahRibathMedia.Com—Korupsi seolah menjadi kisah tanpa akhir di negeri ini. Kasus baru terus muncul, sementara kasus lama tak kunjung selesai. Teranyar, publik digemparkan oleh dugaan korupsi pengadaan alat EDC (Electronic Data Capture) di Bank BRI yang nilainya mencapai Rp2,1 triliun. Kasus ini memaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencegah 13 orang bepergian ke luar negeri demi penyelidikan (Kompas.com, 9 Juli 2025).
Tak hanya itu, skandal korupsi juga muncul dalam proyek infrastruktur jalan di Sumatera Utara. Proyek ini diduga direkayasa melalui e-katalog, sebuah sistem yang seharusnya meminimalkan kecurangan. Rekayasa ini menjadi bukti bahwa korupsi bukan hanya ulah oknum, melainkan hasil dari sistem yang korup, melibatkan jejaring besar, dan terorganisir (CNNIndonesia.com, 2 Juli 2025).
Ironisnya, semua ini terjadi ketika pemerintah gencar melakukan pemangkasan anggaran di berbagai sektor—tunjangan guru, dana bansos, riset, bahkan pertahanan. Namun, penghematan anggaran ini tak menjamin bersihnya pengelolaan keuangan negara. Korupsi tetap merajalela, seolah negara kehilangan daya cegah dan daya tangkal terhadap penyakit akut ini.
Mengapa Korupsi Terus Terjadi?
Padahal, Indonesia memiliki regulasi lengkap: UU Tindak Pidana Korupsi, lembaga khusus seperti KPK, sistem pelaporan kekayaan (LHKPN), gratifikasi online, hingga digitalisasi pengadaan barang dan jasa. Namun, semua instrumen ini tampaknya tak mampu membendung derasnya arus korupsi.
Masalah utamanya bukan hanya pada kurangnya pengawasan, tetapi pada akar sistem yang melandasi kehidupan bernegara. Sistem sekuler kapitalistik yang dianut saat ini menjadikan jabatan sebagai alat meraih keuntungan pribadi. Dalam sistem demokrasi, kekuasaan diperoleh melalui proses mahal. Setelah menjabat, para politisi terdorong untuk “mengembalikan modal politik” dengan cara-cara yang tidak etis, bahkan ilegal.
Sementara itu, regulasi hanya jadi formalitas. Aparat penegak hukum pun tidak selalu netral, bahkan dalam sejumlah kasus mereka turut terlibat dalam kejahatan yang seharusnya mereka berantas.
Selama sistem ini dipertahankan, korupsi akan tetap menemukan jalannya. Ia menyusup dalam celah-celah kekuasaan, dan tumbuh subur di tanah yang disirami kepentingan pribadi dan oligarki.
Islam Kaffah, Sistem Antikorupsi
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang terbukti gagal, Islam hadir dengan solusi menyeluruh, bukan sekadar tambal sulam kebijakan. Islam membangun kesadaran individu melalui ketakwaan kepada Allah, menjadikan pejabat sebagai hamba yang takut pada hisab akhirat.
Allah Swt. berfirman:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (TQS. Al-Baqarah: 188)
Islam tidak hanya membentuk individu bertakwa, tetapi juga menciptakan sistem pengawasan melekat. Negara Islam memiliki lembaga bernama Qadhi Hisbah, yang bertugas mencegah segala bentuk pelanggaran hukum syariah, termasuk korupsi. Lembaga ini aktif mengawasi aktivitas publik, pejabat, pasar, dan memiliki wewenang menindak langsung tanpa birokrasi panjang.
Rakyat juga didorong menjalankan amar makruf nahi munkar. Koreksi terhadap penguasa bukan hanya dibolehkan, tetapi diwajibkan. Negara Islam menjamin kebebasan berpendapat selama dilakukan dalam rangka menegakkan kebenaran.
Islam juga menetapkan sanksi tegas untuk pelaku korupsi melalui hukuman ta’zir. Harta hasil korupsi disita dan dikembalikan ke Baitul Mal. Tidak ada kompromi. Hukum Islam bersumber dari wahyu, bukan dari kesepakatan elite politik, sehingga tak bisa diubah sesuai kepentingan.
Struktur Kekhilafahan: Sistem Pencegah Korupsi
Dalam struktur Khilafah, kekuasaan dijalankan oleh Khalifah yang wajib menerapkan seluruh syariat Islam. Ia diawasi oleh rakyat dan lembaga-lembaga negara. Selain Qadhi Hisbah, ada Qadhi Mazalim—lembaga yudisial khusus yang menangani pengaduan masyarakat terhadap pejabat negara, termasuk Khalifah sendiri. Hakim Mazalim dapat menjatuhkan sanksi kepada siapa pun, tanpa pandang bulu.
Muhtasib (kepala Hisbah) memiliki wewenang untuk memeriksa, menegur, bahkan menindak pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan. Sementara Majelis Umat menjadi kanal rakyat untuk menyampaikan kritik dan masukan.
Struktur ini membentuk sistem pengawasan berlapis dan menyeluruh. Tidak ada ruang aman bagi pelaku korupsi. Setiap jalur penyimpangan ditutup secara sistemik.
Bukti Sejarah: Ketegasan Islam dalam Pemberantasan Korupsi
Sejarah mencatat, Rasulullah ï·º pernah menindak tegas Ibnu al-Lutbiyah, seorang petugas zakat yang menyembunyikan sebagian harta zakat untuk dirinya. Rasulullah ï·º bersabda bahwa siapa pun yang mengambil harta umat secara tidak sah, kelak akan membawa beban itu di hadapan Allah di akhirat. Harta tersebut pun dikembalikan ke Baitul Mal.
Khalifah Umar bin Khattab pun tak segan mencopot pejabat yang hidup mewah. Ia menyita harta mereka dan mengembalikannya kepada rakyat. Ketika mendapati salah satu gubernur memiliki kekayaan melimpah, Umar berkata, “Kalian telah memeras rakyat. Kembalikan hartanya, atau aku akan memperlakukan kalian seperti yang pernah dilakukan Rasulullah ï·º.”
Islam bukan sekadar wacana. Ia telah terbukti menjadi sistem yang efektif mencegah dan menindak korupsi secara menyeluruh.
Saatnya Berjuang Menerapkan Islam Kaffah
Realitas hari ini menunjukkan bahwa korupsi tak bisa diberantas dengan sistem yang melahirkannya. Kapitalisme membuka ruang luas bagi korupsi tumbuh subur. Maka, solusi bukanlah reformasi tambal sulam, tetapi transformasi total: kembali kepada Islam sebagai sistem hidup.
Saatnya umat Islam bersatu menyerukan perubahan menyeluruh. Bukan hanya menuntut hukum ditegakkan, tetapi memperjuangkan penerapan syariat Islam kaffah dalam bingkai Khilafah. Dengan inilah, keadilan bisa ditegakkan, amanah dijaga, dan korupsi benar-benar diberantas dari akarnya.
Via
Opini
Posting Komentar