FABEL
Jeritan Sunyi dari Rimba yang Kian Gundul
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
TanahRibathMedia.Com—“Makanlah dengan kenyang, Nak! Perhatikan makanmu. Cepatlah, matahari akan segera terbenam. Waktunya kita pulang,” seruku pada Orion, anakku satu-satunya. Usianya baru tiga tahun, dan belalai kecilnya masih sering menjulur dengan rasa ingin tahu pada apa pun yang ia lihat.
“Sebentar, Bu. Aku masih ingin makan beberapa buah lagi,” sahutnya sambil terus asyik menyantap mangifera, buah mangga hutan yang tumbuh liar dengan rasa manis dan segar yang tumbuh liar di hutan Sumatera ini.
Ah, mangga hutan... buah kesukaannya. Kami biasa menikmatinya bersama di bawah rimbunnya pepohonan Sumatera. Tempat ini adalah rumah kami. Surga yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur kami. Hutan ini bukan sekadar tempat tinggal, ia adalah kehidupan itu sendiri.
Tapi segalanya mulai berubah.
Perlahan… lalu terlalu cepat untuk kami kejar.
Raungan mesin menggantikan nyanyian burung. Hembusan angin segar tergantikan asap yang menusuk hidung. Pohon-pohon tumbang satu per satu, bukan oleh badai, tetapi oleh tangan-tangan manusia dan alat berat mereka. Hutan kami ditebang, dibakar, dan dijual.
Kami berjalan lebih jauh dari biasanya. Mencari tempat baru. Tapi ke mana lagi kami bisa pergi, jika setiap langkah hanya membawa kami pada debu dan tanah mati?
Orion mulai kurus. Daun-daun yang biasa ia makan kini langka. Sungai tempat kami mandi kini keruh dan hampir mengering. Aku mencoba menenangkan dengan nyanyian lembut, mengusap punggungnya dengan belalaiku meski tubuhku sendiri nyaris tak mampu berdiri.
Aku termenung.
Sesadis inikah makhluk yang kini menguasai bumi? Bukankah mereka yang bersujud pada-Nya bertebaran di mana-mana? Hatiku mulai gerimis.
Mungkin… mereka tak lagi menggunakan hukum-hukum Allah dalam mengurus bumi ini. Mereka lebih memilih mencampakkan petunjuk Sang Pencipta, dan mengikuti hawa nafsu tanpa kendali.
Aku teringat kisah turun-temurun dari leluhurku tentang masa saat bumi dikelola oleh manusia-manusia yang benar, yang adil, dan yang menerapkan hukum-hukum Tuhan. Bukan menolaknya.
“Dulu, saat masa kekhilafahan, nenek moyang kita hidup tenteram, Jumbo! Tak pernah ada yang mengusik kita seperti sekarang,” kata Lila, sahabatku sebelum ia pergi selamanya karena peluru manusia.
“Aku dengar dari nenekku, di Eropa sana, jika musim dingin tiba, pemimpin mereka akan mengirim makanan ke dalam hutan untuk para singa dan hewan buas lainnya,” lanjut Lila kala itu, dalam malam yang kian sunyi dan dingin karena rumah kami telah kehilangan daun-daunnya.
Aku sempat ragu. Benarkah kisah itu pernah nyata? Mengapa terdengar seperti dongeng belaka? Tapi... bahkan ketika aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri Lila roboh, tubuhnya terhempas oleh moncong senapan—aku tahu, manusia bisa seganas itu. Dan kini... hanya aku dan putraku yang tersisa.
Kepada siapa lagi aku meminta perlindungan?
Mungkin hanya kepada Sang Pencipta, tempat segala jerit dan doa bermuara.
Sampai suatu hari, kami mencium wangi buah. Segar dan menggoda. Terlalu asing bagi hutan, tapi terlalu akrab bagi perut kami yang kelaparan. Di dekat perkebunan manusia, kami menemukan buah dan sayur segar berserakan. Aku tahu itu bukan milik kami. Tapi aku adalah ibu dan anakku sedang sangat lapar.
“Bu, boleh aku makan ini?” tanya Orion dengan mata berbinar.
Aku mengangguk pelan.
Satu gigitan. Dua.
Kami tidak tahu itu racun.
Beberapa saat kemudian, tubuhku panas. Perutku melilit. Kulihat Orion terjatuh, menggeliat kesakitan. Matanya panik, napasnya tersengal. Aku berlari menghampiri, memeluknya, membisikkan harapan kosong bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Lalu terdengar tembakan.
Tajam. Dingin. Tanpa ampun.
Tubuhku roboh.
Mataku tak lepas dari wajah Orion.
Ia telah lebih dulu diam. Lebih dulu tenang.
Dalam kematian yang seharusnya tidak datang secepat ini.
Aku adalah ibu.
Aku hanya ingin hidup.
Tapi rumahku mereka hancurkan.
Makananku mereka racuni.
Hidupku mereka akhiri.
Manusia menyebut ini konflik.
Namun bagi kami, ini adalah genosida.
Dalam sunyi hutan yang kini tinggal arang, aku jeritkan duka yang tak terdengar.
Aku langitkan aduan yang tak terbendung.
Ya, Tuhan... aku akan menuntut keadilan di hadapan-Mu.
Semoga azab paling berat Kau jatuhkan pada para penjahat bumi ini.
Kini, jiwaku telah melayang bersama hela napas terakhirku.
Aku benar-benar telah meninggalkan dunia ini... Dunia yang tak lagi ramah bagi kami.
Dari kejauhan, kulihat Orion—buah hatiku—berlari riang bersama para malaikat.
Tak lagi ketakutan. Tak lagi kelaparan. Tak lagi sedih.
Ia kini menyantap aneka buah surga, makanan-makanan yang tak pernah kami temukan di dunia yang rakus ini.
Ada bahagia yang hangat menyelimuti hatiku, menyaksikan wajah mungilnya bersinar tenang.
Namun, ada pula pedih yang menghujam saat mataku menatap jasadku sendiri terkapar di bawah.
Terbaring lemah, diam, dan tak bernyawa.
Aku hanya ingin satu hal kini:
Segera dipertemukan dengan Tuhanku—untuk mengadukan semuanya.
Wahai manusia…!
Ingatlah!
Kalian mungkin lolos dari hukum dunia,
tapi aku akan menunggumu di pengadilan akhirat.
Akan kusebut satu per satu kezaliman kalian.
Akan kutuntut balas atas setiap pohon yang kalian tebang,
atas setiap luka yang kalian beri,
dan atas setiap nyawa yang kalian renggut tanpa belas kasih.
Akan kutunggu kalian.
Di sana.
Di hadapan Sang Hakim yang Maha Adil. ***
Via
FABEL
Posting Komentar