Opini
Islam Basmi Nepotisme dan Kronisme
Oleh: Kiki Zaskia, S. Pd.
(Pemerhati Sosial)
TanahRibathMedia.Com—Dalam sebuah konferensi Pers Badan Pusat Statistik (BPS), terkuak bahwa jumlah angka pengangguran di Indonesia meningkat per Februari 2025 sebesar 7,28 juta orang. Adapun, jumlah angkatan kerja per Februari 2025 mencapai 153,05 juta orang atau meningkat sebanyak 3,67 juta orang bila dibandingkan dengan Februari 2024. Hal ini disinyalir sebab angkatan kerja tersebut belum terserap di pasar kerja (tempo.co, 05-05-2025).
Kesulitan akses untuk mendapatkan pekerjaan telah menjadi tantangan kolektif yang tidak bertepi, sebagaimana job fair yang diadakan di President University Convention Center, Bekasi dengan kuota 2.000 lebih lowongan pekerjaan. Namun pencari kerja (pencaker) yang datang membludak hingga 25.000 orang (Kompas.tv, 28-05-2025).
Di balik riuhnya pencaker, tidak sedikit yang pesimistik sebab adanya budaya nepotisme, pengutamaan kerabat dekat (sanak saudara) dalam hal pekerjaan/promosi, tanpa memperhatikan kualifikasi. Juga ada kronisme yaitu pengutamaan teman atau rekan dekat dalam hal pekerjaan/promosi, tanpa memperhatikan kualifikasi, masih mengakar kuat.
Kini, nepotisme dan kronisme tentu saja sudah menjadi rahasia umum yang sering disebut dengan orang dalam (ordal). Meskipun sering dijadikan lelucon, namun sesungguhnya menjadi permasalahan krusial di negeri ini hingga di era perkembangan teknologi digital.
Meski teknologi kian memudahkan proses pencarian kerja, banyak pekerja muda di Indonesia masih mengandalkan orang dalam alias ordal untuk mendapatkan pekerjaan. Sistem rekrutmen yang transparan kenyataannya belum membudaya.
Penelitian oleh Senza Arsendi, kandidat doktor sosiologi di Universitas Melbourne menemukan jejaring personal masih menjadi faktor kunci dalam mengakses informasi lowongan kerja, terutama di kalangan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan atau SMK.
Arsendi menuliskan bahwa ordal berperan penting dalam proses pencarian kerja lulusan muda. Mayoritas partisipan mengaku dibantu kenalan dekat untuk melamar atau sekadar memperoleh informasi lowongan kerja. Mengandalkan 0rdal dalam mendapatkan pekerjaan menjadi catatan buruk atas sistem kapitalisme dan pendidikan sekuler yang membentuk cara pandang masyarakat.
Selain itu, perkembangan teknologi digital ibarat pedang bermata dua. Jika pemerintah bijak dalam pengaturan kebijakan teknologi digital dengan mempersiapkan masyarakat menyesuaikan dengan tantangan global, maka tentu pencaker bisa dilandaikan dengan tawaran pekerjaan yang bisa mejadi bisnis mandiri yang menjanjikan atau bahkan tidak terbatas wilayah teritorial.
Bahkan, teknologi digital tidak hanya mengintimidasi pencaker dengan soft skill dasar namun juga angkatan kerja dengan skill profesional juga terancam kehilangan kesempatan bekerja karena artificial intelligence (AI). Sebagaimana PHK besar-besar yang terjadi pada perusahaan Microsoft. PHK pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 6.000 karyawan secara global yang menandai gelombang PHK terbesar kedua dalam sejarah perusahaan teknologi raksasa tersebut. Ironis, pengumuman PHK massal ini terdapat fakta bahwa lebih dari 40% karyawan yang di PHK mereka itu adalah para insinyur perangkat lunak.
Dalam sistem kapitalis, persaingan kerja sangat ketat, sementara kesempatan terbatas sehingga koneksi pribadi seringkali menjadi jalan pintas yang dianggap lebih efektif dan aman oleh banyak pihak. Kapitalisme juga melanggengkan ketimpangan sosial. Mereka yang memiliki jaringan atau berasal dari kelas sosial atas lebih mudah mendapatkan akses kerja terlepas dari kompetensi yang dimiliki.
Di sisi lain, sistem pendidikan sekuler di Indonesia cenderung menekankan aspek kognitif dan keterampilan teknis, namun kurang memperhatikan pembentukan kepribadian. Akibatnya para lulusan cenderung pragmatis dan lebih memilih menggunakan jalur koneksi dibandingkan memperjuangkan proses yang adil dan transparan. Maka dari itu, meskipun teknologi telah membuka akses luas terhadap informasi pekerjaan, praktik ordal tetap mengakar di bawah kehidupan yang diatur oleh kapitalisme.
Berbeda dengan kehidupan yang diatur oleh aturan Islam secara kaffah, Islam sangat memahami manusia butuh bekerja untuk menjalankan roda perekonomian keluarga ataupun negara.
Allah Swt. berfirman:
…’’Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut.” (TQS. Al-Baqarah: 233)
Laki-laki tentu tidak hanya membutuhkan semangat pantang menyerah dalam bekerja untuk menjalankan kewajiban ini. Namun kewajiban ini membutuhkan ‘support system’ dari negara sebagai pihak penjamin lapangan pekerjaan itu tersedia cukup. Islam mensyariatkan bahwa negara wajib hadir sebagai raa’in atau pengurus kebutuhan umat.
Rasulullah saw. bersabda, "Seorang imam atau kepala negara adalah pemelihara (raa’in) dan pengatur urusan rakyatnya." (HR. Bukhari)
Kehadiran negara sebagai raa’in akan menjamin kebutuhan rakyat terpenuhi secara makruf, termasuk kebutuhan lapangan kerja. Hal demikian telah Rasulullah contohkan ketika beliau menjadi kepala negara Islam di Madinah.
Rasulullah saw. memberikan dua dirham kepada seorang Anshar. Lalu beliau menyuruh membeli makanan seharga 1 dirham untuk keluarganya dan sisanya untuk membeli sebuah kapak. Lalu Rasulullah membelah kayu dengan kapak tersebut kemudian berkata, "Pergilah dan carilah kayu bakar lalu juallah! Jangan kembali ke hadapanku kecuali setelah 15 hari." Lelaki Ansar itu pun mencari kayu bakar lalu menjualnya. Setelah itu ia datang lagi kepada Rasulullah dengan membawa 10 dirham. Sebagian ia belikan baju dan sebagiannya lagi makanan." (HR Ibnu Majah)
Islam membebankan ketersediaan lapangan kerja di tangan negara bukan di tangan industri atau korporat seperti negara kapitalisme sekarang. Kemudian, negara yang bisa melakukan tugas tersebut hanyalah negara yang menerapkan syariah Islam kaffah, yaitu Daulah Khilafah.
Berbicara mengenai pekerjaan, tentu hal itu tidak lepas dari kualitas sumber daya manusia atau SDM dan bidang pekerjaan. Daulah Islam akan memastikan setiap rakyat mendapatkan pendidikan terbaik.
Dalam daulah Khilafah, pendidikan diberikan sebagai layanan sosial sehingga setiap warga negara khilafah, baik miskin atau kaya, Muslim atau kafir zimmi mendapat pendidikan yang kualitasnya sama. Pendidikan dalam Islam mengarah pada dua tujuan, yaitu terbentuknya kepribadian Islam yang kuat sekaligus memiliki keterampilan untuk berkarya. Dengan demikian, kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh daulah Islam adalah orang-orang yang beriman, tangguh, dan kuat secara mental maupun fisik.
Di sisi lain, mekanisme daulah dalam menyediakan lapangan kerja dilihat dari kebutuhan umat dan pelayanan terhadap ideologi Islam, bukan tergantung pada industri. Kebutuhan ini menuntut perkembangan ekonomi di sektor ril di bidang pertanian, industri, perdagangan, dan jasa. Sektor-sektor itulah yang membuka lapangan kerja. Pengelolaan sumber daya alam dalam khilafah dilakukan secara mandiri dan syar’i.
Daulah khilafah akan bertanggung jawab penuh untuk mengelola sumber daya alam tanpa kerjasama dengan pihak swasta. Pengelolaan ini pasti butuh tenaga ahli dan terampil dalam jumlah besar. Di sinilah lapangan kerja akan tercipta. Islam memiliki syariat terkait pertanahan agar senantiasa hidup dan produktif. Misalnya, syariat tentang ihyaul mawat, iqtha, dan sejenisnya. Syariat ini juga bisa menjadi lapangan kerja bagi para laki-laki. Hanya dengan khilafah ketersediaan pekerjaan dan kualitas sumber daya manusia akan terjamin.
Wallahu 'alam bisshawab.
Via
Opini
Posting Komentar