Opini
Pro Kontra Wisuda, Bagaimana Pandangan dalam Islam?
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Viral di sosial media, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang tengah berdebat cukup sengit dengan salah seorang remaja yang tidak terima dengan kebijakan baru Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yakni meniadakan kegiatan study tour dan wisuda perpisahan sekolah dari jenjang TK hingga SMA.
Kebijakan ini cukup membuat pro-kontra bagi para orangtua dan siswa. Di satu sisi, banyak siswa yang tidak setuju dengan ditiadakannya wisuda ini. Namun di sisi lain, banyak juga para orangtua yang menyambut kebijakan ini lantaran beban biaya yang tidak murah yang harus dibayar demi acara tersebut, sementara anak-anak mereka masih harus melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya dengan biaya dan segala persiapannya yang tentunya tidaklah murah (Jawapos.com, 28-4-2025).
Melihat viralnya masalah ini, lantas bagaimana tanggapan dari sisi Islam?
Mengadakan sebuah perayaan, apalagi perayaan keberhasilan, kelulusan, dan prestasi apapun yang berhasil diraih orang seseorang, hukumnya adalah mubah atau boleh sepanjang tidak menabrak hukum-hukum syara'. Hanya saja, yang terjadi hari ini, banyak sekali perayaan wisuda justru mendatangkan banyak dosa dan kemudharatan bagi masyarakat. Di antaranya ada campur baur antara laki-laki dan perempuan atau ikhtilat di antara para siswa, lalu terbukanya aurat perempuan dengan pakaian-pakaian minim hingga perilaku tabarruj atau mempertontonkan kecantikannya, serta peluang-peluang lain yang menjurus kepada perzinaan serta meninggalkan kewajiban sholat lantaran takut menghapus make-up.
Selain pelanggaran syariat, diadakannya wisuda perpisahan sekolah dengan biaya yang tidak murah karena harus menyewa gedung hingga mengundang grup band atau penyanyi ini seolah-olah menjadi sesuatu yang dijadikan budaya dari tahun ke tahun. Sekolah seolah-olah mendadak menjadi terkenal, elite, dan bahkan menjadi incaran bagi calon siswa akibat event tahunan tersebut, hingga menjadikannya kapitalisasi dalam dunia pendidikan.
Pendidikan yang seyogianya menjadi hal yang sangat penting untuk meraih masa depan yang cemerlang bagi anak bangsa, kini seolah bergeser. Sekolah seolah hanya menjadi tempat ajang cari teman dan pacar, ajang berlomba-lomba pamer gaya, serta ajang meluapkan kebebasan masa remaja untuk bebas melakukan apapun, sebelum akhirnya mereka dinyatakan dewasa oleh negara dengan kartu tanda penduduk.
Lalu apa hasilnya? 12 tahun mengenyam pendidikan dari TK sampai SMA seolah-olah tidak ada artinya. Waktu terbuang sia-sia karena ilmu hanya sedikit didapat, bahkan tidak mampu mencetak siswa-siswi unggul, berprestasi, dan beradab. Inilah gambaran nyata pendidikan hari ini.
Lantas mengapa pendidikan negara ini begitu parah, hingga membentuk para siswa yang hanya ingin hura-hura? Memaksa orangtua mereka untuk mengeluarkan sejumlah uang yang tidak sedikit demi agar bisa ikut perayaan wisuda yang tidak ada faedahnya sedikitpun untuk masa depan mereka?
Jawabannya tak lain, tak bukan adalah berkembangnya sekularsime di pemikiran umat serta sistem kapitalisme yang dijalankan oleh pemerintah. Kapitalisme dan sekularsime inilah akar segala permasalahan tersebut. Bagaimana bisa? Mari kita kupas satu per satu.
Sekularisme atau pemisahan agama dengan kehidupan sehari-hari yang berkembang di tengah umat, menjadikan mereka ingin hidup bebas tanpa aturan agama. Landasan berpikirnya adalah liberalisme atau kebebasan. Apa yang disukai dan diinginkan, sepanjang itu dirasa tidak merugikan orang lain, adalah sah-sah saja, termasuk jika seseorang ingin bersenang-senang, berzina, dan melakukan kemaksiatan lain.
Sementara sistem kapitalisme yang diterapkan oleh negara, membuat apapun yang masuk ke negara ini, baik produk maupun informasi yang baik atau buruk bagi umat, tidak akan difilter dengan sungguh-sungguh selagi itu bisa menghasilkan keuntungan bagi kas negara. Informasi kebebasan dalam bergaul, berpakaian atas nama fashion, dan gaya hidup hura-hura menjadi mudah terserap mentah-mentah oleh masyarakat yang berpikiran sekuler serta menganggapnya sesuatu yang keren dan patut dicontoh.
Di sisi lain, hal ini diperkuat oleh sistem pendidikan yang juga bersifat sekuler-kapitalisme. Sekuler karena meniadakan agama sebagai acuan dalam mendidik siswa serta memberikan mindset bahwa kesuksesan dan prestasi adalah nilai-nilai akademis. Sementara kapitalisasi dari dunia pendidikan saat ini adalah berupa tingginya biaya sekolah. Seolah kualitas bagus dan elit hanya bisa dicapai dengan biaya yang mahal serta jaminan untuk bisa sukses, yang salah satunya bisa memudahkan siswa menembus kampus-kampus negeri terbaik. Sedangkan sekolah buruk adalah sekolah yang gratis dari pemerintah atau yang biayanya murah, yang tidak bisa menjamin siswanya bisa sukses atau menembus kampus-kampus terbaik.
Yang paling membuat senjang dalam hal ini adalah ekonomi kapitalisme yang cenderung menyengsarakan rakyat dan memperkaya kalangan-kalangan tertentu saja. Membuat rakyat kesulitan dalam hal keuangan untuk kehidupan sehari-hari, untuk biaya menyekolahkan anak-anaknya, dan berbagai kesulitan lain yang dihadapi para keluarga dan orangtua di era kapitalisme saat ini. Pemerintah pun seolah tak sanggup menyelesaikan persoalan ini, karena peran mereka dalam menjalankan roda pemerintahan hanyalah sebagai regulator bagi para pengusaha atau investor.
Sehingga, kebijakan longgar pemerintah akan masuknya segala sesuatu ke tengah masyarakat, ditambah dengan pemikiran sekuler yang menjangkiti umat, serta kesulitan hidup yang dialami rakyat hari ini, adalah satu kesatuan kompleks yang menjadi cikal-bakal pro-kontra diadakannya wisuda.
Menjadi berbeda apabila yang diterapkan dalam sistem pemerintahan adalah Islam. Khalifah dalam daulah Islam sejak awal secara tegas akan menutup segala bentuk produk dan informasi yang dapat menyesatkan rakyat, sehingga bayangan kehidupan keren ala kafir jahiliah tidak akan pernah menjangkiti pemikiran umat. Selanjutnya dari sisi pendidikan, kurikulum Islam yang diterapkan sangatlah jelas, karena bukan nilai-nilai akademis yang dijadikan tolok ukur keberhasilan para peserta didik, namun adalah ketakwaannya dan pemahamannya akan apa yang diajarkan di sekolah hingga teraplikasinya pelajaran itu dalam kehidupan sehari-hari.
Contohnya soal membuang sampah. Bagi pendidikan yang berbasis kapitalisme, membuang sampah hanyalah urusan kesadaran pribadi yang tidak diajarkan atau didisiplinkan para siswa. Sedangkan sebaliknya, pendidikan dalam Islam mampu membuat siswa tak hanya menumbuhkan sikap sadar diri untuk membuang sampah di tempatnya, tetapi juga mampu ber-amar ma'ruf nahi mungkar akan masalah ini.
Selain itu, di dalam daulah Islam, sekolah-sekolah mahal dengan iming-iming kesuksesan dan segala kapitalisasinya akan ditiadakan. Karena semua sekolah memiliki kualitas yang sama, kurikulum yang sama, yang lebih mengedepankan nilai-nilai agama secara kaffah. Memahamkan kepada para peserta didik tentang akidah yang lurus, yang menjadikan mereka pribadi yang bertakwa dan bermanfaat bagi umat, serta sikap senantiasa berhati-hati dalam setiap tindak tanduknya, akibat penanaman rasa takut kepada Allah.
Terakhir adalah soal kesenjangan ekonomi di tengah masyarakat yang tidak akan terjadi dalam daulah Islam, karena negara akan mengelola sendiri segala sumber daya alam yang dimiliki, serta membuka lapangan kerja sebesar-besarnya bagi rakyat dan dengan upah yang sangat layak. Dengan itu, tentu tak hanya sandang, pangan, dan papan yang mudah terpenuhi, tetapi mudahnya akses kesehatan dan pendidikan. Dengan ini, tentu para siswa yang ingin merayakan kelulusan, akan mudah dilakukan tanpa memikirkan lagi tingginya biaya maupun ketakutan para orangtua apabila anak-anak mereka melakukan kemaksiatan akibat acara tersebut.
Karena daulah secara tegas melarang aktivitas ikhtilat kecuali di tempat-tempat tertentu, dan menerapkan berbagai hukum syara' lain agar kemubahan dalam perayaan wisuda itu tidak sampai menjadi haram oleh aktivitas kemaksiatan. Lalu Khalifah memberikan sanksi yang tegas bagi pihak sekolah maupun para siswa yang melanggar.
Demikianlah perbedaan keduanya dalam pembahasan perayaan wisuda perpisahan sekolah. Artinya, hanya Islamlah yang mampu menjaga segalanya dari kemudharatan yang dapat menyengsarakan umat itu sendiri. Sehingga, dengan melihat adanya 2 perbedaan ini, sebagai seorang muslim, sudah saatnya untuk sadar dan kembali memperjuangkan penegakan syari'at Allah di bumi ini, agar menyelamatkan para generasi berikutnya dari kerusakan-kerusakan yang kian masif dan mengerikan akhir-akhir ini.
Via
Opini
Posting Komentar