Opini
Paylater dan Konsumerisme, Buah Sistem Kapitalis
Oleh: Siti Rohmah, S. Ak
(Pemerhati Kebijakan Publik)
TanahRibathMedia.Com—Paylater, metode pembayaran yang sering ditawarkan oleh berbagai aplikasi e-commerce atau platform digital yang saat ini banyak digandrungi karena memungkinkan pembeli untuk menunda pembayaran barang atau jasa dan membayarnya di kemudian hari.
Pada bulan Februari tahun 2025 ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa adanya peningkatan angka pinjaman yang dilakukan menggunakan layanan buy now pay later (BNPL) milik perbankan yaitu dengan jumlah utang mencapai Rp 21,98 triliun.
Selain BNPL yang mengalami kenaikan, kredit perbankan juga secara keseluruhan telah mencatat pertumbuhan positif. Total kredit mencapai Rp 7.825 triliun, naik 10,30℅ dibandingkan Februari 2024 lalu. Dari jumlah nominal tersebut, 14,62℅ dari kredit investasi, disusul kredit konsumsi yang naik 10,31℅ dan kredit modal kerja 7,66% (Detik.com, 11-02-2025).
Berbasis Ribawi
Ketika kita menelaah kembali fenomena di atas, sejatinya kita patut miris. Ternyata dana yang beredar saat ini di tengah-tengah masyarakat marak berbasis ribawi. Apalagi pertumbuhannya semakin positif. Hal tersebut tentunya membuat kita yakin bahwa sebenarnya banyak kalangan masyarakat yang tidak memiliki uang sehingga mengandalkan utang. Kondisi saat ini membuat mereka tidak ragu bahkan tidak takut untuk mengambil utang ribawi, padahal hal tersebut tidak menguntungkan sama sekali dan akhirnya merugikan diri sendiri.
Banyaknya pengguna salah satu aplikasi keuangan digital paylater membuktikan bahwa adanya gaya hidup yang menjadi faktor meningkatnya angka pinjaman masyarakat melalui fitur aplikasi tersebut. Masyarakat merasa dimudahkan dengan transaksi belanja online karena hanya tinggal sentuh layar ponsel pintar mereka saja. Akan tetapi, mereka tidak memikirkan kembali adanya dampak negatif di balik kemudahan tersebut, yaitu tanggungan utang yang harus mereka lunasi.
Banyaknya penggunaan paylater tak lepas dari gaya hidup konsumerisme yang ada di tengah-tengah masyarakat. Dengan paylater mereka berfikir yang penting punya uang, tanpa memikirkan utang dan riba. Oleh karena itu, mereka akan merasa lebih bergengsi ketika tampil dengan barang-barang baru, ‘branded’, dan model terkini saat momen penting seperti hari raya atau saat kumpul keluarga.
Begitulah buah sistem kapitalisme. Masyarakat yang hidup dalam sistem saat ini di mana landasan berpikirnya juga sekuler sehingga sikap konsumerisme dianggap sah-sah saja, apalagi negara menjadi fasilitator untuk pertumbuhan dan perkembangan budaya konsumerisme. Karena, bagi kapitalisme, keadaan seperti ini tentunya sangat menguntungkan karena masyarakat rela berutang dan membelanjakan uang dari utang tersebut tanpa ragu.
Islam Mengatur Jual beli
Islam jelas mengatur setiap aktivitas dalam kehidupan kita. Terutama tentang transaksi jual beli. Dalam Islam utang di perbolehkan tetapi hanya semata-mata untuk kebutuhan mendesak bukan untuk gaya hidup agar terlihat glamor. Allah melarang kita untuk melakukan transaksi yang mengandung riba. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
"Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 275)
Begitu pula dengan gaya hidup yang konsumerisme, Islam melarang pada setiap orang agar tidak menghambur hamburkan hartanya atau boros. Karena perilaku boros merupakan tabiatnya syaitan. Apalagi hanya untuk kesenangan duniawi yang unfaedah. Maka, Islam akan mengarahkan kita untuk aktivitas semisal berbagi dengan anak yatim, bersedekah dengan kaum duafa, dan sebagainya.
Ketika sistem Islam ditegakkan maka daulah akan menutup setiap pintu-pintu transaksi ribawi . Daulah akan menerapkan sistem ekonomi Islam, di mana setiap kepemilikan diatur sesuai hukum suara sehingga sumber daya alam terkelola dengan baik, kesejahteraan rakyat terjamin. Selain negara memenuhi kebutuhan masyarakat nya dari segi jaminan ekonomi negara juga akan menjamin ketaqwaan individu. Maka landasan berfikirnya pun adalah landasan berfikir islam. Sehingga bukan hanya kesenangan dunia yang dipikirkan, tapi setiap aktivitas akan bernilai pahala untuk akhirat. Maka, hanya dengan diterapkan kembali sistem Islam, praktik ribawi akan diatasi dan kesejahteraan masyarakat terjamin.
Waallahu'aalam bisshawab.
Via
Opini
Posting Komentar