Opini
Pengangguran Tidak Ada dalam Islam
Oleh: Dwi R Djohan
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Dari tangkapan layar CNN Indonesia dalam videonya yang viral di media sosial, ada kejadian dua pelamar kerja di Batam, Kepulauan Riau, terjatuh dalam saluran parit saat berdesak-desakan melamar pekerjaan di perusahaan yang ada di kawasan industri Tanjung Uncang, Batam.
Menurut batamnews.co.id (29-4-2025) walk-in interview tersebut dilaksanakan oleh PT Letsolar Energy Indonesia yang beralamat di Horison Industrial Park, kecamatan Sagulung, Kota Batam. Dari kejadian tersebut PT Letsolar bertanggung jawab dengan menghubungi kedua korban. Kejadian ini terjadi karena lokasi yang sempit dan saking banyaknya para pencari kerja sehingga aksi saling dorong mendorong tidak terelakkan.
Hal itu ternyata tidak hanya terjadi di perusahaan swasta. Informasi dari idntimes.com (4-5-2025), Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung mengatakan bahwa kuota lowongan kerja untuk petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) di Pemprov tidak akan ditambah meski membludak peminatnya. Padahal lowongan yang disediakan ada 1.100, sedang pelamar berjumlah 7 ribu.
Melihat dari dua fenomena di atas maka tidak salah jika dalam laporan IMF dikutip dari kompas.com (30-4-2025) menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan tingkat tertinggi dalam hal pengangguran di antara enam negara Asia Tenggara pada tahun 2024. Data ini berdasar pada persentase angkatan kerja atau penduduk berusia 15 tahun ke atas yang sedang mencari pekerjaan. Mirisnya lulusan universitas (sarjana dan diploma) menjadi bagian dalam lingkaran pengangguran itu.
Terlibatnya lulusan sarjana dan diploma dalam lingkaran pengangguran pertanda bahwa gelar dan ijazah tidak bisa lagi menjadi senjata dalam mencari pekerjaan. Jadi teringat dengan pernyataan Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia yang beredar di media sosial di mana dengan bangganya Bahlil menyebut IPK-nya hanya 2,7 tetapi membuatnya menjadi menteri. Jadi Bahlil berpendapat bahwa IPK tinggi itu bagus tetapi bersiap saja jika cuma menjadi pekerja. Pernyataan yang melukai hati para calon wisudawan yang sedang berkonsentrasi menyelesaikan skripsinya dan sangat disayangkan hal itu berasal dari aparatur negara yang seharusnya memberi dukungan agar para mahasiswa terpacu dengan pendidikan yang diembannya. Ini juga menjadi pertanda bahwa pendidikan formal bukan menjadi hal penting di negeri ini.
Jika mencari penyebab masalah pengangguran adalah karena diterapkannya sistem kapitalisme. Di mana dalam sistem ini, negara hanya bertindak sebagai regulator yang mementingkan korporat (penguasa/pemodal) sehingga tidak menjamin kesejahteraan rakyatnya dan tidak menjamin terbukanya lapangan kerja. Alhasil terjadi kesenjangan jumlah antara lapangan pekerjaan dengan pencari kerja. Lucunya, negara malah menyerahkan tanggung jawab membuka lapangan kerja pada pihak swasta/korporasi dengan membuka investasi sebesar-besarnya melalui pengelolaan sumber daya alam (SDA) pada swasta.
Fakta yang didapat dari bbc.com (30-42025), lowongan kerja yang ada tidak sesuai dengan riwayat pendidikan yang dimiliki pelamar. Contoh : Heru Kurniawan, Sarjana Teknik Mesin, lulusan 2023 yang sekarang menjadi sopir mobil rental. Ada juga, Reza Pahlevi yang lulus dengan titel Sarjana Komputer tetapi sekarang bekerja sebagai satpam di sebuah kantor di Bandung Tengah, Jawa Barat. Masih banyak lagi fakta seragam di lapangan. Ini semua mereka lakukan demi bertahan hidup di tengah minimnya lapangan pekerjaan sektor formal disertai badai pemutusan hubungan kerja dalam beberapa waktu terakhir.
Masih hangat terdengar ada wacana bahwa bansos dari pemerintah diberikan tetapi dengan syarat bagi penerima harus melakukan vasektomi terlebih dahulu. Meski akhirnya ada bantahan atas wacana tersebut, tetapi solusi semacam ini sangatlah kejam. Kenapa? Reproduksi atau melahirkan anak atau generasi adalah fitrah manusia dan itu tuntutan peradaban. Generasi akan melanjutkan estafet peradaban. Jika dicegah atau bahkan dihentikan, bagaimana nasib kelanjutan peradaban.
Jika lahirnya generasi menjadi sebuah permasalahan, maka itu menunjukkan kegagalan penguasa. Kalau melihat fenomena yang beredar di media sosial, banyak netizen berpendapat "jika belum mapan, jangan punya anak" atau "jangan zalimi anakmu dengan kemiskinanmu". Bukankah miris akidah mereka? Lho, kenapa nyambungnya ke akidah? Rejeki itu rahasia Allah, manusia tidak bisa mengatur dan mengetahuinya. Kehamilan dan kelahiran juga rahasia Allah, manusia tidak bisa mengelaknya. Kata "miskin" itu muncul dari kamus manusia, ketika manusia itu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Jika mengaca dari situ, bukankah itu tugas negara untuk memastikan rakyatnya berkecukupan? Bahan makanan murah, kesehatan terjangkau aksesnya, pendidikan murah dan berkualitas, lapangan pekerjaan tersedia atau bahkan negara sigap dengan kesulitan rakyat lainnya. Maka dengan pernyataan tadi, yang patut disalahkan bukanlah orang yang punya banyak anak tetapi negara yang tidak becus dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya.
Dalam Islam, negara adalah raa'in (pengurus rakyat). Dengan sistem Islamnya, negara tidak berlepas tangan, dia akan menjamin kesejahteraan rakyatnya dan membuka lapangan kerja.
Negara Khilafah dengan penerapan sistem ekonomi Islamnya mampu membuka lapangan kerja bagi rakyat secara memadai. Menyediakan lapangan kerja sesuai potensi yang dimiliki rakyatnya atau melayakkan potensi rakyatnya dengan lapangan kerja yang ada. Itulah bentuk peran dan tanggung jawab negara pada rakyatnya.
Khilafah pun akan melakukan pengelolaan SDA secara mandiri dan haram diserahkan kepada swasta apalagi asing. Sehingga akan mampu membuka lapangan kerja dari sektor industri dalam jumlah besar. Kalaupun terpaksa harus melibatkan pihak ketiga, negara tidak akan berlepas tangan tapi akan terus memantau agar hak rakyat tidak terzalimi.
Wallahu a'lam.
Via
Opini
Posting Komentar