Opini
Cacat Pikir Penyebab Kemiskinan
Oleh: Arum Indah S.E
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menuai sorotan atas usulannya menjadikan vasektomi sebagai syarat bagi masyarakat prasejahtera untuk mendapat bantuan dari pemerintah, mulai dari beasiswa hingga bansos nontunai. Dedi beralasan bahwa rata-rata keluarga miskin selalu memiliki banyak anak sehingga bantuan pemerintah hanya mengalir di keluarga yang sama dan tidak terdistribusi secara merata. Selain itu, Dedi juga menyatakan vasektomi merupakan wujud pertanggungjawaban suami untuk menyejahterakan keluarga (kompas.com, 4-5-2025).
Akan tetapi usulan Dedi Mulyadi ini menuai kecaman dari sejumlah pihak. Menteri Sosial Yusuf Abdullah angkat bicara dan menilai usulan itu mencederai HAM. Ketua Bidang Keagamaan PBNU Ahmad Fahrur Rozi juga menentang usulan ini karena hukumnya haram. Vasektomi dipandang sebagai langkah pemandulan permanen.
Pandangan Pemerintah
Sebelumnya, Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Pemberdayaan Anak (PPPA) Veronica Tan juga mendorong perempuan untuk berpartisipasi mewujudkan peningkatan ekonomi. Perempuan harusnya fokus untuk meningkatkan kualitas keluarga, bukan kuantitas keluarga. Bahkan, secara gamblang Veronica mengatakan jika ingin banyak uang, jangan banyak anak (kompas.com, 29-4-2025).
Baik Dedi Mulyadi atau Veronica Tan, keduanya berpandangan bahwa banyak anak akan menjadi hambatan untuk mewujudkan kesejahteraan. Pandangan ini sejalan dengan salah satu tujuan program keluarga berencana, yaitu peningkatan kualitas hidup dengan terjaminnya kesehatan, pendidikan, dan ekonomi keluarga. Meski program keluarga berencana hanya bersifat imbauan, tapi satu hal yang tak dapat dimungkiri adalah opini yang berkembang bahwa banyak anak akan berhubungan erat dengan meningkatnya beban keluarga.
Cacat Pikir
Meskipun pada akhirnya Dedi Mulyadi mengklarifikasi pernyataannya bahwa vasektomi bukanlah paksaan, tetapi tetap tidak mengubah pandangan pemerintah terhadap beban yang timbul karena banyaknya anak. Pendapat ini tampak benar, tetapi sebenarnya terdapat cacat pikir dalam pendapat ini yang bisa menyebabkan false dilemma (dilema yang salah). Masyarakat seolah hanya bisa memilih antara banyak anak dan miskin, atau sedikit anak dan kaya, padahal bukan tidak mungkin ada pilihan ketiga yaitu banyak anak dan kaya.
Fakta di lapangan justru menunjukkan kondisi lain. Angka kelahiran justru sudah mengalami penurunan, tetapi angka kemiskinan justru meroket tajam dari tahun ke tahun. Meski BPS mengeklaim bahwa penduduk miskin di Indonesia hanya sebesar 8,57 persen atau 24,06 juta jiwa dengan standar kemiskinan Rp595.242 per bulan. Akan tetapi, jika menggunakan standar World Bank, sebanyak 171,8 juta jiwa atau 60,3 persen penduduk Indonesia terkategori miskin.
Kemiskinan Sistemik
Penyebab kemiskinan di Indonesia, yaitu income (pendapatan) keluarga lebih kecil daripada pengeluaran, rendahnya kualitas SDM karena sulitnya akses pendidikan, terbatasnya lapangan pekerjaan, dan timpangnya distribusi pendapatan. Keempat hal ini merupakan imbas dari penerapan sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berperan sebagai regulator, bukan riayah (pelayan) umat. Akibatnya, negara lepas tangan akan kewajibannya dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan.
Negara justru menyerahkan kewajiban itu kepada pihak swasta dan asing. Alhasil, biaya pendidikan dan kesehatan terus meroket naik. Di sisi lain, pemerintah telah gagal membuka lapangan pekerjaan. Gelombang badai PHK justru terus menghantam berbagai sektor. Kondisi negeri makin parah dengan suburnya budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Lebih dari 70 persen aset produktif nasional hanya dikuasai oleh 0,02 persen penduduk Indonesia (Winata, 2007), mereka yang termasuk 0,02 persen ini adalah para pemilik modal yang bebas memiliki apa saja dengan jaminan kebebasan kepemilikan yang ditawarkan oleh kapitalisme.
Kesejahteraan Hanya dengan Islam
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam akan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap masyarakat. Penerapan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah akan menjamin kesejahteraan bagi setiap keluarga. Khilafah akan mewajibkan setiap kepala keluarga untuk mencari nafkah dengan menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan ataupun iklim yang kondusif untuk berwirausaha. Khilafah akan hadir di tengah-tengah umat dan menjamin terpenuhinya pendidikan dan kesehatan bagi seluruh rakyat. Dalam Islam, tidak akan ada istilah banyak anak akan menyebabkan banyak beban kehidupan.
Dengan mekanisme seperti yang telah dijelaskan di atas, menjadi hal yang niscaya kesejahteraan akan bisa dirasakan oleh seluruh keluarga, baik keluarga itu punya banyak anak atau tidak. Dalam Islam, memiliki banyak anak merupakan suatu hal yang sangat disukai sebagaimana hadis Rasul:
“Nikahilah perempuan yang pencinta dan yang dapat mempunyai banyak anak karena sesungguhnya aku akan berbangga-bangga dengan banyaknya kamu di hadapan umat terdahulu.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan An-Nasa’i)
Khatimah
Banyak anak bukanlah penyebab kemiskinan sebagaimana yang diungkapkan pemerintah. Setiap anak justru membawa rezeki masing-masing. Bahkan anak justru sering menjadi jalan rezeki bagi kedua orang tuanya. Anak merupakan anugerah dari Allah yang layaknya patut disyukuri dan bukan dianggap sebagai beban. Namun, dalam sistem hidup kapitalisme saat ini, anak justru dianggap beban. Pandangan ini muncul karena semua beban kehidupan yang harusnya menjadi tanggung jawab negara justru dialihkan pada individu.
Sudah saatnya kita mengganti sistem kehidupan kapitalisme hari ini menjadi sistem Islam yang akan membawa kesejahteraan bagi seluruh umat.
Wallahu’alam bishawab.
Via
Opini
Posting Komentar