OPINI
PP Tunas dan Akar Luka Generasi: Mengobati Gejala, Melupakan Penyakit
Oleh: Ilma Nafiah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan pembatasan akses digital bagi anak melalui PP Tunas, sebuah regulasi yang disebut sebagai upaya melindungi generasi dari paparan pornografi, cyberbullying, dan gaya hidup liberal. Langkah ini disorot berbagai media karena muncul secara cepat, bahkan dinilai tergesa-gesa dan membingungkan dalam implementasinya (cnbcindonesia.com, 22 Oktober 2025).
Tujuan utamanya memang mulia: menjaga anak dari bahaya ruang digital. Namun pertanyaannya, apakah pembatasan akses benar-benar mampu menyembuhkan luka yang lebih dalam?
Fakta di lapangan menunjukkan banyak anak terpapar konten pornografi, kekerasan verbal, hingga gaya hidup permisif melalui platform-platform digital (kompas.com, 6 Desember 2025). Tidak sedikit pula remaja yang rapuh mentalnya hingga mengambil jalan tragis ketika tekanan hidup menghimpit — yang sebagian pihak menyebutnya sebagai efek berantai dari media sosial (bisnis.com, 19 November 2025).
Meski demikian, menyederhanakan seluruh masalah anak kepada media sosial membuat kita melupakan fakta besar: media sosial bukan sumber penyakit, melainkan jendela yang memamerkan apa yang sudah ada di dalam diri dan sistem kehidupan kita.
Media Sosial Bukan Sumber Luka, Hanya Cermin yang Memperbesar
Masalah anak dan remaja hari ini tidak lahir karena TikTok, Instagram, atau konten viral. Media sosial hanya memperkuat rasa, mempertebal dorongan, dan memperbesar apa yang sudah tersimpan di dalam jiwa. Anak yang rapuh secara mental akan semakin runtuh ketika melihat konten tekanan sosial. Anak yang haus validasi akan semakin tenggelam dalam dunia digital. Namun akar dari semuanya bukan pada medianya melainkan minimnya fondasi mental, spiritual, dan pemahaman kehidupan.
Dalam kerangka Islam, media adalah madaniyah, produk teknologi yang netral. Yang membuatnya berbahaya atau bermanfaat adalah ideologi yang mengarahkan penggunaannya. Ketika ideologi yang dominan bersifat sekularisme-kapitalisme, maka media pun akhirnya menjadi mesin komodifikasi: tubuh diperjualbelikan, emosi diekspor sebagai konten, bahkan anak-anak berubah menjadi bahan tontonan publik demi angka engagement (detik.com, 4 November 2025).
Dengan demikian, mengurung anak dari media sosial hanya memindahkan mereka dari layar ke tembok tanpa mengobati kekosongan yang menganga di dalam diri mereka.
Akar Persoalan: Ideologi Sekularisme-Kapitalisme yang Merusak Struktur Sosial
Dalam sistem sekularisme-kapitalisme, nilai hidup anak ditentukan oleh standar materi, kebebasan tanpa kontrol, dan kompetisi tanpa arah. Lingkungan, sekolah, hingga keluarga pun tak luput dari tekanan gaya hidup modern yang mengikis spiritualitas dan keteladanan.
Akibatnya:
• Anak kehilangan pegangan moral yang jelas
• Remaja devolusi menjadi generasi rapuh, rentan kecanduan, dan mudah dimanipulasi
• Orang tua kehilangan arah dalam mendidik karena sistem sosial mengalir membentuk manusia yang hanya mengejar kenikmatan dan kebebasan personal
Dalam struktur seperti ini, tidak heran media sosial menjadi “pengasuh” baru bagi generasi digital.
Karena itu, PP Tunas bila hanya fokus pada filter konten sebetulnya hanya menjadi penutup luka. Luka itu tampak sembuh, tetapi infeksi tetap menyebar.
Solusi Pragmatis Tanpa Menyentuh Akar
Pembatasan akses digital hanya mengurusi “wadah”, bukan “isi”. Yang diperketat adalah layar, bukan nilai dalam diri manusia.
Anak bisa saja tidak mengakses media sosial, tetapi:
• nilai liberal tetap ada di lingkungan sekolah,
• konten kekerasan tetap bisa muncul dari pergaulan,
• gaya hidup permisif tetap datang dari media mainstream,
• individualisme tetap merembes melalui sistem pendidikan dan ekonomi.
Di titik inilah, kebijakan ini terkesan reaktif, bukan transformasional.
Bagaimana Khilafah Menangani Ancaman Moral?
Pada masa Khilafah, tantangan moral juga pernah muncul, meski bukan dari media digital.
Salah satu kasus terkenal terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ketika sebagian pemuda mulai terpengaruh budaya hedonis dari wilayah non-Muslim yang baru ditaklukkan, Umar tidak membatasi mereka dari interaksi sosial — karena ia tahu akar masalah bukan pada interaksi itu sendiri.
Ia justru memperkuat:
1. Sistem pendidikan berbasis akidah, sehingga setiap pemuda memahami batasan moral dan tujuan hidup.
2. Pengawasan masyarakat, karena amar makruf nahi mungkar merupakan fungsi sosial, bukan hanya keluarga.
3. Keteladanan penguasa, yang memancarkan nilai kesederhanaan dan ketaatan.
Hasilnya, generasi yang semula mulai condong pada gaya hidup bebas kembali kuat dan terarah — bukan karena dibatasi, tetapi karena dibentuk.
Hal ini menunjukkan bahwa yang menentukan perilaku generasi adalah ideologinya, bukan medianya.
Membangun Benteng Keimanan, Bukan Sekadar Mengunci Gawai
Untuk benar-benar melindungi generasi, negara harus berpindah dari kebijakan sensor ke kebijakan pembinaan.
Dalam Islam:
• negara memastikan pendidikan berbasis akidah,
• sistem sosial mendukung terbentuknya masyarakat berakhlak,
• hukum ditegakkan untuk menghalangi penyebaran nilai merusak,
• keluarga didukung menjadi pusat pendidikan pertama.
Sementara Khilafah menerapkan syariat secara menyeluruh, bukan parsial, sehingga atmosfer sosial, politik, ekonomi, hingga budaya berjalan dalam satu napas akidah.
Dalam atmosfer seperti ini, gempuran konten negatif tidak akan mudah menggoyahkan generasi, karena mereka telah memiliki benteng iman bukan sekadar password digital.
Generasi yang Kuat Tak Akan Terseret Arus Digital
PP Tunas mungkin relevan untuk meminimalkan risiko jangka pendek. Namun ia tidak akan pernah cukup bila akar persoalan tetap dibiarkan hidup: yakni ideologi sekularisme-kapitalisme yang membentuk manusia serba bebas, serba ingin, dan serba rapuh.
Generasi yang kuat tidak dibangun dari filter konten, tetapi dari pemahaman hidup yang benar, keteladanan moral, dan sistem yang menopang kebaikan.
Karena itu, seluruh elemen umat orang tua, masyarakat, ulama, dan negara harus bersama-sama memperjuangkan penerapan nilai Islam secara menyeluruh. Bukan sekadar membatasi layar, tetapi menerangi akal dan hati generasi.
Via
OPINI
Posting Komentar