Telusuri
  • Pedoman Media
  • Disclaimer
  • Info Iklan
  • Form Pengaduan
  • Home
  • Berita
    • Nasional
    • Lensa Daerah
    • Internasional
  • Afkar
    • Opini Tokoh
    • Opini Anda
    • Editorial
  • Remaja
    • Video
  • Sejarah
  • Analisa
    • Tsaqofah
    • Hukum
  • Featured
    • Keluarga
    • Pernikahan
    • Pendidikan Anak
    • Pendidikan Remaja
    • FiksiBaru
Tanah Ribath Media
Beranda FABEL Duka Poni di antara Gelondongan Kayu
FABEL

Duka Poni di antara Gelondongan Kayu

Tanah Ribath Media
Tanah Ribath Media
13 Des, 2025 0 0
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp


Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Sahabat Tanah Ribath Media)

TanahRibathMedia.Com—Poni masih mampu merasakan dinginnya angin pagi saat kejadian itu terjadi. Ia masih remaja, tubuhnya belum sebesar gajah dewasa lainnya. Hari itu ia berjalan berdampingan dengan ibunya, menyusuri hutan yang masih teduh. Suara burung hinggap di telinganya, hingga tiba-tiba semuanya pecah oleh ledakan keras.

“Dooor!”

Dunia Poni terhenti. Ia melihat ibunya tersentak, lalu roboh. Darah segar mengalir dari dahi ibunya. Poni membeku. Di hadapannya berdiri manusia dengan senjata yang masih mengeluarkan asap sebelum akhirnya kabur tanpa jejak. Sejak hari itu, ruang di dada Poni seperti berlubang, serupa luka di kepala ibunya yang tak pernah hilang dari ingatan.

Bukan tanpa alasan Poni menyimpan luka mendalam. Ibunya sendiri meregang nyawa oleh manusia bengis itu. Padahal ibunya hanya mengeluhkan bisingnya gergaji mesin yang belakangan semakin sering menggema di rumah mereka. Hampir setiap hari, suara itu mengoyak ketenangan hutan, diikuti tumbangnya pohon-pohon besar, tempat tinggal mereka sejak turun-temurun.

Hari-hari setelah itu berjalan dalam kesunyian yang panjang. Keluarga gajah berusaha menghiburnya, mengajak makan dan mandi lumpur seperti dulu, namun semuanya terasa berbeda. Hutan tempat mereka hidup turun-temurun perlahan mengecil. Setiap hari suara gergaji mesin mengiris udara, menumbangkan pohon-pohon besar tanpa belas kasihan. Hutan yang dulu luas berubah menjadi petak-petak kosong.

Suatu pagi, Poni terbangun oleh panas yang membakar udara.

“Api! Cepat pergi!” teriak Lilo, tetua gajah.

Mereka saling bertubrukan dalam panik. Pohon-pohon berubah menjadi obor raksasa. Daun kering jatuh seperti hujan bara. Asap menusuk mata, membuat setiap napas terasa seperti menelan bara. Gajah-gajah berlari tersengal, berusaha keluar dari lautan api yang merambat cepat.

“Ya Allah… rumahku!” seru Lilo. Ratapan para ibu gajah menyusul, menghantam hati Poni hingga ia kembali teringat pada ibunya.

“Kenapa manusia sejahat ini, Bu?” lirih Nila, nyaris tenggelam oleh isak.

Lilo tak dapat menahan tangisnya. “Entahlah, Nak… manusia itu diberi amanah untuk menjadi khalifah di bumi. Tapi alih-alih menjaga dan mengatur dengan baik, namun justru banyak di antara mereka malah semakin membuat kerusakan demi kerusakan.”

Apa yang dikatakan Lilo terdengar persis seperti nasihat yang dulu sering disampaikan ibu Poni. Ketika mereka berjalan berdua mencari makan, ibunya selalu bercerita tentang amanah Allah, bahwa langit, bumi, dan gunung-gunung pernah ditawari amanah untuk menjaga bumi dan menjadi khalifah, pengatur yang melindungi segala isinya. Namun semuanya menolak karena takut tidak mampu memikulnya. Hanya manusia yang menerimanya, meski justru merekalah yang pada akhirnya paling sering berlaku zalim dan bodoh dalam menjalankan amanah itu.

Ibu Poni marah. Oleh karenanya, sebelum pada akhirnya timah panas menembus kepalanya, ia sempat berlari menuju sekumpulan manusia yang sedang bekerja memotong pepohonan dengan brutalnya. Berhari-hari Ibu Poni lakukan itu demi menjaga rumah dan keluarganya. Namun siapa sangka, apa yang dilakukan Ibu Poni justru dianggap hama oleh para manusia serakah yang ingin merampas rumah mereka, hutan mereka.

Ketika api padam, hutan mereka tinggal arang hitam. Tak ada naungan, tak ada tempat beristirahat. Poni menangis dalam diam. Rumah mereka telah mati, seperti ibunya.

Hari demi hari mereka berjalan makin jauh mencari makanan. Semak-semak hilang, sumber air mengering. Hingga suatu hari, Taro, teman baik Poni, nekat masuk ke ladang manusia karena lapar yang tak tertahankan. Tak disangka Taro diserang oleh sekumpulan manusia yang datang dengan membawa jaring besar, mengepung dan menjeratnya. Taro menjerit memanggil ibunya yang sudah lama tiada akibat terperosok ke lubang tambang yang menganga. Namun jerit itu hanya bergema kosong sebelum ia diseret pergi dan tak pernah kembali.

Tangis keluarga gajah memenuhi malam itu, doa mereka naik ke langit, penuh duka dan amarah atas kerakusan manusia yang terus merenggut kedamaian mereka.

Namun penderitaan itu belum usai. Di penghujung November 2025, hujan turun berhari-hari tanpa henti. Tanah gundul tak mampu menahan air. Sungai meluap, pecah menjadi arus dahsyat yang membawa gelondongan kayu dari pohon-pohon yang dulu berdiri megah.

Arus itu datang seperti binatang buas. Gajah-gajah berlarian, namun satu per satu terseret, terhempas, dan tenggelam oleh kayu-kayu raksasa. Suara gemuruh menelan jeritan. Lumpur menarik kaki mereka tanpa belas kasihan.

Poni terlempar ke dalam arus. Ia mengayuh air sekuat tenaga, napasnya tersengal, matanya perih. Sungai berubah menjadi monster yang ingin menelan semuanya. Ia berusaha bertahan, memaksa tubuhnya tetap di permukaan. Di tengah kekacauan itu, sebuah gelondongan kayu raksasa muncul dari balik gulungan arus, meluncur dengan kecepatan yang tak sempat ia hindari.

Poni hanya sempat menoleh sekejap sebelum kayu itu menghantam kepalanya. Cahaya pecah di matanya. Suara gemuruh memudar. Dunia mendadak sunyi. Tubuhnya terkulai dan hanyut tak berdaya di tengah arus banjir.

Di antara gelondongan kayu, sisa-sisa rumahnya yang telah hilang, Poni pun menyusul sang ibu dalam keheningan yang tak bersuara. Hutan telah mati, dan bersama itu, Poni pun pergi.

ظَهَرَ الْفَسَا دُ فِى الْبَرِّ وَا لْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّا سِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ


“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; agar Allah merasakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali.”
(QS. Ar-Rum: 41).
Via FABEL
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru

Anda mungkin menyukai postingan ini

Posting Komentar

- Advertisment -
Pasang Iklan Murah
- Advertisment -
Pasang Iklan Murah

Featured Post

Mengepak Sayap Dakwah, agar Terbang di Setiap Paragraf Naskah

Tanah Ribath Media- Desember 15, 2025 0
Mengepak Sayap Dakwah, agar Terbang di Setiap Paragraf Naskah
Oleh: Kartika Soetarjo ( Penulis dan Pengasuh Pengajian Anak-Anak Raudhatul Jannah) TanahRibathMedia.Com— "Waktu adalah misteri yang tak perna…

Most Popular

Miris, Bencana Sumatra Bukan Bencana Nasional

Miris, Bencana Sumatra Bukan Bencana Nasional

Desember 12, 2025
Berbagai Bencana Meluas, Kebijakan Tak Juga Tegas

Berbagai Bencana Meluas, Kebijakan Tak Juga Tegas

Desember 13, 2025
Banjir Sumatra, Bukti Kebobrokan Kapitalisme

Banjir Sumatra, Bukti Kebobrokan Kapitalisme

Desember 11, 2025

Editor Post

Tak Habis Pikir

Tak Habis Pikir

Juni 11, 2023
Untuk Engkau yang Merindu Bahagia

Untuk Engkau yang Merindu Bahagia

Juni 09, 2023
Anak Terjerat Prostitusi Online, Dimana Perlindungan Negara?

Anak Terjerat Prostitusi Online, Dimana Perlindungan Negara?

Agustus 06, 2024

Popular Post

Miris, Bencana Sumatra Bukan Bencana Nasional

Miris, Bencana Sumatra Bukan Bencana Nasional

Desember 12, 2025
Berbagai Bencana Meluas, Kebijakan Tak Juga Tegas

Berbagai Bencana Meluas, Kebijakan Tak Juga Tegas

Desember 13, 2025
Banjir Sumatra, Bukti Kebobrokan Kapitalisme

Banjir Sumatra, Bukti Kebobrokan Kapitalisme

Desember 11, 2025

Populart Categoris

Tanah Ribath Media

Tentang Kami

Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Contact us: contact@gmail.com

Follow Us

Copyright © 2023 Tanah Ribath Media All Right Reserved
  • Disclaimer
  • Privacy
  • Advertisement
  • Contact Us