OPINI
Ancaman Bom dari Game Digital: Ketika Ruang Maya Menggerus Akal dan Iman Generasi
Oleh: Ilma Nafiah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Kasus seorang siswa SMP di Batam yang mengirim pesan ancaman bom ke sekolahnya dengan alasan terpengaruh game online bukanlah sekadar kenakalan remaja biasa. Peristiwa ini menjadi alarm keras tentang betapa dalamnya pengaruh ruang digital terhadap cara berpikir dan bertindak generasi hari ini (detik.com, 10 Desember 2025). Tindakan tersebut bukan hanya meresahkan lingkungan pendidikan, tetapi juga menunjukkan adanya krisis serius dalam pembentukan karakter dan nalar pelajar.
Dominasi konten negatif di platform digital terbukti sangat memengaruhi perilaku pelajar. Dunia game, media sosial, dan konten hiburan hari ini banyak menyajikan kekerasan, ancaman, dan sensasi ekstrem yang dinormalisasi sebagai hiburan. Ketika konsumsi semacam ini berlangsung tanpa kontrol dan pendampingan, batas antara dunia virtual dan realitas menjadi kabur. Akibatnya, pelajar dapat meniru perilaku destruktif yang sejatinya merugikan orang lain dan dirinya sendiri (detik.com, 10 Desember 2025).
Lebih jauh, media sosial kini telah beralih fungsi menjadi standar perilaku remaja. Apa yang viral dianggap wajar, apa yang ekstrem dianggap lumrah, dan apa yang melanggar norma sering kali dipandang sebagai candaan. Dalam kondisi ini, ruang digital tidak lagi netral. Ia sarat dengan nilai kebebasan tanpa batas, sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, serta hedonisme yang mengagungkan kesenangan instan (detik.com, 10 Desember 2025). Nilai-nilai inilah yang secara perlahan membentuk pola pikir remaja, termasuk generasi Muslim.
Hegemoni ruang digital yang dikuasai logika kapitalisme global mencengkeram erat pemikiran generasi Muslim. Segala hal dinormalisasi atas nama hiburan dan kebebasan berekspresi, tanpa mempertimbangkan halal-haram atau dampak moral. Dalam situasi ini, ancaman bom yang dilakukan seorang pelajar bukan muncul dari ruang kosong, melainkan dari lingkungan digital yang gagal menanamkan batas nilai dan tanggung jawab.
Sejarah Islam menunjukkan bahwa pembinaan generasi tidak pernah diserahkan pada ruang bebas tanpa nilai. Pada masa Khilafah, negara berperan aktif menjaga akal dan perilaku generasi. Salah satu contohnya terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ketika beliau memberikan sanksi tegas terhadap syair, cerita, atau aktivitas publik yang mengandung unsur kekerasan dan kerusakan akhlak karena dikhawatirkan merusak generasi muda. Negara tidak membiarkan ruang publik—termasuk ruang hiburan—menjadi sarana normalisasi perilaku menyimpang.
Solusi atas persoalan hari ini tidak bisa dibebankan pada individu semata. Orang tua, guru, dan masyarakat harus bersinergi untuk menyelamatkan generasi dari hegemoni kapitalis di ruang digital. Pengawasan, pendampingan, dan pendidikan nilai harus berjalan seiring, bukan saling menunggu.
Lebih dari itu, harus disadari bahwa media sosial dan ruang digital hari ini bukanlah ruang yang aman bagi pembentukan pemikiran generasi Muslim. Karena itu, generasi perlu dibina dengan pemikiran Islam kafah—pemikiran yang menjadikan akidah sebagai landasan berpikir dan syariat sebagai standar berbuat. Tanpa fondasi ini, generasi akan terus menjadikan tren digital sebagai kompas moral.
Generasi Muslim juga harus disadarkan akan bahaya besar jika ruang digital terus dijadikan standar perbuatan. Tidak semua yang viral itu benar, dan tidak semua yang populer itu dibenarkan. Standar perbuatan seorang Muslim sejatinya bukan algoritma media sosial, melainkan hukum syariat Islam yang menjaga agama, akal, jiwa, dan keamanan masyarakat.
Kasus di Batam seharusnya menjadi momentum refleksi bersama. Jika ruang digital dibiarkan tanpa nilai, maka ancaman serupa bukan tidak mungkin akan terulang. Menyelamatkan generasi berarti mengembalikan standar hidup mereka pada tuntunan Islam, bukan pada gemerlap dunia maya.
Via
OPINI
Posting Komentar