SP
Bakar Ponpes Karena Sering Dirundung, Potret Gagalnya Pendidikan Sekuler
TanahRibathMedia.Com—Bullying atau perundungan masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi dunia pendidikan hari ini, bahkan kasus bullying semakin masif terjadi. Mirisnya pelaku hingga korbannya pun dari berbagai kalangan usia, baik sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Seperti kasus pembakaran yang baru-baru ini terjadi di asrama pesantren di Aceh. Usut punya usut berdasar pengakuan pelaku adalah sebagai bentuk balas dendam terhadap para santri yang kerap merundung dirinya (Detiknews, 31 Oktober 2024).
Sementara itu genap satu minggu kemudian, terjadi kasus serupa. Sebuah ledakan besar terdengar di lingkungan SMAN 72 Jakarta yang menyebabkan 96 korban luka. Pelakunya diduga merupakan siswa kelas 12 yang juga menjadi korban bullying (Kumparan, 7 November 2025).
Masifnya Kasus Bullying di Lingkungan Pendidikan
Menurut data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan lonjakan signifikan kasus bullying di lingkungan sekolah. Pada tahun 2023 tercatat 285 kasus yang terlapor, dan meningkat lebih dari 100 persen pada 2024, yakni menjadi 573 kasus. Meski belum ada data konkret untuk 2025, linimasa berita masih dipenuhi kabar perundungan, baik di sekolah, pesantren, maupun perguruan tinggi.
Bullying jelas berdampak serius pada korbannya. Dampak tersebut bisa berupa rasa takut, gangguan kecemasan, keinginan mengasingkan diri, hingga hal yang lebih berbahaya seperti munculnya dorongan untuk bunuh diri atau melakukan kekerasan sebagai bentuk balas dendam (National Child Traumatic Stress Network).
Gagalnya Sistem Pendidikan Sekuler
Maraknya kasus bullying di sekolah menjadi bukti nyata bahwa sistem pendidikan sekuler yang diterapkan hari ini telah gagal membentuk generasi muda kepribadian yang berakhlak mulia dan berbudi luhur. Sekolah seharusnya menjadi tempat di mana siswa merasa aman dan dapat mengembangkan kepribadiannya. Namun, dalam sistem pendidikan kapitalis-sekuler, sekolah hanya berfokus pada pencapaian materi saja.
Pendidikan sekuler hanya menuntut siswa menguasai pelajaran dan keahlian untuk bersaing di dunia kerja, sementara pelajaran agama yang diharapkan mampu membentuk karakter hanya mendapat jatah dua jam pelajaran per minggu. Keadaan ini diperburuk oleh paparan media yang tak mendidik dari berbagai platform. Kekerasan, pornografi, dan berbagai konten destruktif mudah diakses siapa pun, termasuk anak dan remaja. Dari sana, siswa kerap mengadaptasi pola pikir dan perilaku yang merusak.
Penanganan kasus bullying oleh pemerintah pun belum menjadi solusi berarti. Buktinya, kasus perundungan dan aksi balas dendam terus berulang setiap tahun. Ini menunjukkan perlunya solusi holistik terhadap perundungan beserta dampak turunannya.
Hanya Pendidikan Islam Lahirkan Generasi Gemilang
Pendidikan sejatinya merupakan pilar utama pembentukan karakter. Dalam sistem pendidikan Islam, pendidikan bertujuan membentuk kepribadian Islam. Akidah menjadi dasar penyusunan kurikulum, sementara adab menjadi fokus utama dalam proses pendidikan.
Sistem pendidikan Islam memberikan pembinaan intensif untuk membentuk pola pikir dan pola sikap islami. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya memperoleh nilai materi, tetapi juga nilai maknawi dan ruhiyah. Mereka tidak sekadar unggul dalam pelajaran dan keterampilan duniawi, tetapi juga tumbuh sesuai fitrahnya sebagai manusia.
Peran negara sangat krusial dalam mewujudkan sistem pendidikan yang ideal. Dalam sistem Islam, negara menjadi penjamin utama penyelenggaraan pendidikan yang bermakna dan sesuai fitrah, sehingga mampu membina moral umat. Hanya dengan Khilafah, pendidikan dapat benar-benar berperan sebagai pembentuk karakter, pelindung generasi dari kezaliman sosial, dan penghasil generasi cemerlang sebagaimana masa Abbasiyah yang dikenal sebagai Islamic Golden Age.
Allahualam bishowab.
Siti Khairunnisa
(Sahabat Tanah Ribath Media)
Via
SP
Posting Komentar