OPINI
Tambal Sulam Stimulus Ekonomi ala Kapitalis
Oleh: Alfiah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Meski sumber daya alam berlimpah, namun rakyatnya jauh dari kata sejahtera. Berarti ada yang salah dalam tata kelola ekonomi dan negara gagal mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Alih-alih memberikan solusi tuntas terhadap persoalan ekonomi, pemerintah justru melakukan tambal sulam untuk menyelamatkan ekonomi yang kian rapuh.
Pada kuartal I dan II 2025 ekonomi Indonesia berjalan lambat. Disusul deflasi (harga barang dan jasa secara umum mengalami penurunan) dan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Dampaknya jelas akan menurunkan daya beli masyarakat. Indikator seperti deflasi dan maraknya PHK lama kelamaan akan menggerus pertumbuhan ekonomi. Begitu pula sebaliknya, perlambatan ekonomi akan mengancam daya beli masyarakat dan menyebabkan gelombang PHK selanjutnya (investor.id, 3-6-2025).
Solusi yang diberikan Pemerintah mengatasi perlambatan ekonomi adalah dengan menggulirkan lima kebijakan dalam paket stimulus ekonomi, seperti diskon tiket transportasi, diskon tarif tol, bantuan sosial pangan, bantuan subsidi upah, hingga diskon iuran jaminan kecelakaan kerja (JKK).
Sejumlah kebijakan ini sudah berlangsung sejak Juni 2025 dan pemerintah percaya akan merangsang minat belanja masyarakat. Meski begitu, stimulus-stimulus ini nyatanya belum cukup mendongkrak ekonomi masyarakat.
Pemerintahpun kembali memberikan stimulus ekonomi dan menambah jumlah penerimanya. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan pemerintah memberikan paket stimulus ekonomi dengan menambah jumlah penerima bantuan langsung tunai (BLT) sebanyak dua kali lipat menjadi 35.046.783 keluarga penerima manfaat (KPM) pada Oktober, November, dan Desember 2025.
Tak hanya stimulus berupa BLT (bantuan langsung tunai), pemerintah juga telah meluncurkan program magang nasional dengan target 100 ribu orang untuk mengatasi tingginya pengangguran akibat PHK (antaranews.com, 17-10-2025).
Sesungguhnya stimulus ekonomi berupa BLT dan magang nasional, bagian dari program percepatan (quick wins) dengan asas manfaat tetapi tidak menyentuh akar masalah persoalan ekonomi. Padahal problem mendasar ekonomi yang dialami oleh rakyat adalah kemiskinan dan pengangguran. Hal ini jelas tidak akan selesai dengan BLT dan magang nasional. Demikianlah, solusi pemerintah hanya bersifat praktis-pragmatis ala kapitalisme sekuler. Kebijakan yang tidak benar-benar berpihak pada rakyat. Namun hanya sebatas untuk menyelamatkan ekonomi nasional dengan dalih pertumbuhan ekonomi. Kalangan atas semakin melangit, kalangan menengah turun kasta, sementara kalangan bawah tetap sebagai 'sapi perah'.
Pertumbuhan ekonomi sering dijadikan indikator utama untuk mengukur keberhasilan suatu negara. Angka pertumbuhan yang tinggi kerap dianggap sebagai tanda bahwa perekonomian sedang sehat dan masyarakatnya sejahtera. Dalam berbagai laporan resmi, seperti produk domestik bruto (PDB), pertumbuhan ekonomi selalu disajikan sebagai bukti keberhasilan kebijakan pemerintah dan sebagai daya tarik bagi investor. Namun, penting untuk memahami bahwa pertumbuhan ekonomi adalah ukuran makro yang bersifat agregat (satu kesatuan), sehingga tidak secara langsung mencerminkan kondisi ekonomi masyarakat secara individual.
Pertumbuhan ekonomi dihitung dari peningkatan total nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu periode waktu. Salah satu komponen utama dalam perhitungan ini adalah konsumsi rumah tangga, yang dijumlahkan secara keseluruhan tanpa membedakan kontribusi antar individu atau kelompok pendapatan. Artinya, jika sebagian kecil masyarakat meningkatkan belanjanya secara signifikan, sementara mayoritas justru mengalami penurunan, angka pertumbuhan ekonomi tetap dikatakan meningkat. Hal ini jelas paradoks. Ekonomi secara makro tampak tumbuh, namun di tingkat mikro, kesenjangan dan kemiskinan tetap memburuk.
Oleh karena itu, butuh adanya indikator yang lebih berfokus pada distribusi kesejahteraan, seperti tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan akses terhadap layanan dasar. Sistem ekonomi Islam terbukti lebih berfokus pada distribusi kesejahteraan sehingga hasilnya dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan.
Dalam Islam, negara adalah pelayan rakyat yang wajib menjamin kebutuhan dasar individu per individu. Sesungguhnya problem kemiskinan rakyat saat ini tidak terlepas dari dirampoknya sumberdaya alam seperti laut, tambang, hutan oleh korporat. Negara selama ini justru menyerahkan pengelolaan sumberdaya alam kepada korporat asing dan aseng. Hasilnya setetespun tak dirasakan rakyat sipemilik hakiki sumberdaya alam.
Paradigma kapitalisme justru menjadikan negara seenaknya saja menyerahkan pengelolaan sumberdaya alam kepada siapa. Padahal Rasulullah saw. bersabda:
"Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah, dan lainnya)
Negara Islam juga tidak akan memberlakukan pajak terhadap rakyatnya. Beban pajak yang memberatkan saat ini nyatanya menjadi persoalan tersendiri bagi masyarakat. Utang ribawi dan pajak adalah dua kesalahan fatal ekonomi kapitalisme yang justru terbukti gagal mensejahterakan rakyat. Rasulullah SAW telah memberikan peringatan:
“Tidak akan masuk surga pemungut pajak (maks).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim; dinyatakan shahih oleh Al-Hakim)
Walhasil, dalam pandangan Islam, kesejahteraan tidak diukur dari total konsumsi nasional, melainkan dari terpenuhinya hak-hak dasar setiap warga negara. Dengan pendekatan ini, solusi ekonomi Islam menjadi sangat relevan untuk menjawab tantangan ketimpangan dan menciptakan sistem yang lebih adil dan berkeadilan sosial.
Dalam sistem ekonomi Islam, distribusi bukan sekadar dampak dari pertumbuhan ekonomi, namun tujuan yang melekat dalam setiap kebijakan ekonomi. Islam menetapkan mekanisme distribusi melalui instrumen seperti zakat, infak, sedekah, wakaf, dan larangan menumpuk harta.
Negara dalam sistem Islam juga memiliki peran penting dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu seperti sandang, papan, pangan, pendidikan dan kesehatan, bukan hanya menciptakan pertumbuhan secara agregat. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi menurut Islam bukan hanya soal angka, tetapi tentang keberkahan dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.
Wallahu a'lam bishawab
Via
OPINI
Posting Komentar