OPINI
KDRT, Bukti Rusaknya Sistem Kehidupan Saat Ini
Oleh: Hany Handayani Primantara, S.P 
(Aktivis Muslimah Banten)
TanahRibathMedia.Com—Bagai bola salju, kasus KDRT kian hari kian bertambah. Berdasarkan data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas), tren jumlah kasus KDRT di Indonesia pada periode Januari hingga awal September 2025 cenderung mengalami peningkatan. Kasus KDRT mencapai 10.240 perkara per 4 September 2025, dengan lebih dari 1.000 kasus dilaporkan ke polisi tiap bulannya (goodstats.id, 14-09-2025).
Padahal jelas dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) secara tegas menyatakan sanksi pidana bagi pelaku KDRT. Di antaranya pidana kurungan, denda, dan pidana tambahan. Pidana tambahan dilakukan dengan menjauhkan pelaku dari korban dan pembatasan hak-hak tertentu. Namun sepertinya sanksi yang diberikan tidak memberikan efek jera bagi pelakunya. Terbukti dengan semakin bertambahnya kasus serupa.
Beragamnya kasus kekerasan yang terjadi bukan hanya dilakukan oleh suami maupun istri, bahkan anak-anak yang masih di bawah umur pun tidak jarang menjadi pelaku kekerasan itu sendiri. Baik hal itu terjadi dalam lingkup keluarga maupun di sekolah. Rapuhnya ketahanan keluarga menjadi dampak buruk secara langsung pada perilaku usia remaja. Hal inilah yang menjadi pemicu tak terkendali peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan remaja.
Rusaknya Sistem Keluarga dan Sosial 
Jauhnya kehidupan berkeluarga dari nilai-nilai agama disinyalir menjadi faktor utama penyebab timbulnya kasus KDRT. Kehidupan sekularisme membuat keluarga menjadi kehilangan landasan takwa dan tanggung jawab secara moral. Saat ini agama hanya dipandang sebelah mata sebagai pelengkap dalam kehidupan. Bukan menjadi bagian penting dalam kehidupan yang dijadikan poros dan rujukan. Masalah agama dijadikan bagian dari kehidupan yang bersifat privat dan tertutup. Haram bagi orang lain untuk memasuki area tersebut walau sekadar untuk saling mengingatkan kebaikan. Sebab urusan agama merupakan masalah individu antara dia dan tuhan. Mereka menganggap bahwa dengan begitu, kehidupan bermasyarakat akan jauh lebih kondusif dan nyaman.
Inilah yang menyebabkan masyarakat lebih mengarahkan pendidikan dalam keluarga berbasis sekuler-liberal. Hasil dari pendidikan ini justru tak sesuai harapan, yakni menumbuhkan kebebasan tanpa batas serta sikap individualistik yang merusak keharmonisan rumah tangga sekaligus perilaku remajanya. Selain itu, pola pikir materialisme menjadikan standar kebahagiaan hanya bersifat duniawi. Walhasil, tekanan hidup lebih mudah memicu keretakan dan kekerasan. Masalah finansial selalu bergulir tanpa ada keyakinan pasti terkait konsep rezeki, akibatnya mudah tersulut emosi dan melakukan tindak kekerasan.
Bukan tidak ada kepedulian dari negara untuk menyelesaikan masalah KDRT ini. Buktinya undang-undang PKDRT yang sudah disusun dan diterapkan dalam tatanan hukum. Hanya saja solusi yang ditawarkan dalam undang-undang tersebut sejauh ini hanya sebatas pada penanganan hukum sanksi di permukaan saja tanpa menyentuh akar permasalahannya. Walhasil sistem kehidupan rusak yang menjadi biang kerok masalah tetap bergulir dan membuat kasus berulang pada setiap keluarga. Selama sistem kehidupan yang dijadikan poros adalah sekularisme, maka KDRT menjadi bukti nyata rusaknya sistem kehidupan saat ini.
Islam Memandang Kasus KDRT
Islam mewajibkan setiap muslim untuk mengikuti apapun yang diperintahkan Allah Swt. Termasuk di dalamnya menjadikan agama sebagai rujukan dalam setiap masalah. Sebab masalah yang terjadi saat ini sebenarnya merupakan dampak dari jauhnya kaum muslim dari aturan Islam. Ketika kaum muslim lebih percaya dengan pendidikan berbasis sekuler-liberal seperti saat ini, sejatinya merupakan sinyal bahwa kaum muslim telah menggali kuburannya sendiri.
Pendidikan dalam Islam bertujuan untuk membentuk kepribadian bertakwa dan berakhlak mulia, bukan sekadar membentuk pribadi yang sukses dari sisi orientasi duniawi semata. Sebab Islam memandang kebahagiaan tertinggi justru bukan dari banyaknya materi yang sanggup dihasilkan seseorang, melainkan ketika Rabb-Nya ridho atas apa yang telah ia lakukan di dunia. Baik itu aktivitas yang sifatnya ibadah secara langsung maupun yang bersinggungan dengan manusia lainnya. 
Seperti hubungan suami istri dalam rumah tangga, sejak awal Islam telah menutup celah KDRT dari sisi pandangan peran keduanya sebagai partner bukan atasan dan bawahan sebagaimana di kantor. Dari peran keduanya yang saling melengkapi inilah akhirnya akan terbangun keluarga yang kokoh dan terhindar dari pemicu timbulnya KDRT. Di samping itu, hukum sanksi Islam yang diterapkan mampu membuat jera pelaku kekerasan sekaligus menjadi bagian pendidikan secara langsung bagi masyarakat agar bisa hidup sesuai dengan syariat Islam dalam setiap kondisi.
Selain itu, negara pun turut berperan bukan hanya sebagai algojo yang berhak memberikan sanksi semata. Melainkan negara hadir sebagai ra’ain yakni pelindung yang berfungsi menjamin kesejahteraan dan keadilan sehingga keluarga tidak tertekan secara ekonomi yang biasanya menjadi pokok masalah setiap rumah tangga. Jaminan tersebut bukan lagi berupa terbukanya lapangan pekerjaan bagi para laki-laki yang berkewajiban untuk mencari nafkah, namun juga jaminan berupa fasilitas pendidikan, maupun kesehatan yang menjadi kebutuhan bagi seluruh umat.
Wallahu ‘alam bishowab.
Via
OPINI
 
Posting Komentar