Opini
Kemerdekaan yang Kehilangan Arah: Penjajahan Masih Mengikat Negeri Ini
Oleh: Mujiman
(Lulusan API 3 - 2025)
TanahRibathMedia.Com—Setiap tanggal 17 Agustus, suasana negeri berubah riuh. Bendera merah putih berkibar di mana-mana, lomba-lomba digelar di gang-gang sempit, dan pidato-pidato sarat nasionalisme bergema dari mimbar kekuasaan. Lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dinyanyikan penuh khidmat, dan pekik “Merdeka!” terdengar dari pejabat hingga rakyat biasa.
Namun, di balik gegap gempita itu, pertanyaan mendasar patut diajukan: benarkah bangsa ini telah bebas sepenuhnya? Ataukah perayaan kemerdekaan hanya menjadi ritual tahunan yang membuat rakyat lupa bahwa bentuk penjajahan kini sekadar berganti wajah?
Potret Buram di Balik Perayaan Kemerdekaan
Tanah air ini dianugerahi sumber daya alam yang melimpah: emas, nikel, batu bara, minyak, gas, hutan tropis, dan laut yang kaya. Tetapi siapa yang benar-benar menguasainya? Emas Papua tetap menjadi ladang emas Freeport milik Amerika, blok-blok migas dikendalikan perusahaan asing, dan tambang-tambang besar lebih banyak memberi keuntungan bagi korporasi global ketimbang rakyat.
Sementara itu, utang luar negeri terus membengkak hingga melampaui Rp8.000 triliun. Anggaran pendidikan dan kesehatan kerap kalah prioritas dibandingkan proyek infrastruktur yang sarat kepentingan investor. Kurikulum pendidikan pun lebih banyak mengadopsi standar Barat, menjauhkan generasi dari akar agamanya. Kemerosotan moral, pergaulan bebas, narkoba, dan kriminalitas pun kian marak.
Bagaimana bisa disebut merdeka jika hukum yang berlaku adalah buatan manusia yang rapuh, korup, dan mudah dibeli—bukan hukum dari Sang Pencipta?
Merdeka yang Tak Bermakna
Kini, kemerdekaan dimaknai sebatas kebebasan berbicara—asal tidak menyinggung kekuasaan. Kebebasan berpendapat dibolehkan—selama tidak menggugat sistem yang ada. Beragama pun dianggap hak, tetapi penerapan Islam secara kaffah malah dicap radikal. Ironis, negeri berpenduduk mayoritas Muslim justru meminggirkan syariatnya sendiri.
Demokrasi yang dibanggakan sebagai lambang kebebasan ternyata hanya melahirkan kekuasaan yang dikuasai segelintir elit. Rakyat diingat lima menit saat pencoblosan, lalu dilupakan. Janji-janji politik berakhir menjadi retorika kosong, sementara kebijakan lebih berpihak pada pemilik modal.
Beginilah wajah kemerdekaan hari ini—merdeka secara administrasi, tapi masih terjajah secara ideologi, politik, ekonomi, budaya, hingga akidah.
Islam dan Makna Kemerdekaan Sejati
Kemerdekaan hakiki tidak hanya soal lepas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas dari perbudakan manusia kepada manusia lain, dan tunduk hanya kepada Allah Swt.
Islam datang membawa misi pembebasan: mengeluarkan manusia dari kesempitan sistem buatan manusia menuju keadilan syariat Allah. Inilah yang dilakukan Rasulullah ï·º saat membangun Daulah Islam di Madinah—menciptakan masyarakat yang berdaulat, adil, dan sejahtera di bawah hukum Allah.
Dalam sistem Khilafah, jabatan kepemimpinan bukan rebutan demi ambisi atau uang. Seorang khalifah dipilih karena ketakwaan, ilmu, dan kemampuannya menegakkan syariat. Kekayaan alam dikelola untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk dijual kepada asing. Pendidikan diarahkan untuk membentuk pribadi berakidah kuat, bukan sekadar tenaga kerja bagi pasar global.
Rasulullah ï·º pernah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman bukan untuk menguasai tanah, tapi untuk menegakkan ajaran Islam dan keadilan. Begitu pula para khalifah setelah beliau, yang membebaskan negeri-negeri dari tirani dan penindasan dengan cahaya Islam.
Bangkitkan Kesadaran, Raih Kemerdekaan Hakiki
Kini saatnya umat Islam bangun dari kelalaian. Jangan hanya bangga pada bendera dan upacara, sementara hidup masih diatur sistem peninggalan penjajah. Mengapa setelah delapan dekade merdeka, negeri ini tetap tertinggal, korupsi makin merajalela, moral kian runtuh, dan kemiskinan semakin meluas?
Jawabannya jelas: sistem sekuler kapitalis yang diwariskan kolonial masih bercokol. Selama hukum Allah diabaikan, penderitaan tak akan berhenti. Kemerdekaan sejati hanya bisa dicapai dengan kembali pada aturan-Nya.
Jadikanlah peringatan 17 Agustus sebagai ajang introspeksi nasional—apakah kita benar-benar bebas atau sekadar mengganti bendera penjajah sambil mempertahankan sistem mereka?
Kemerdekaan yang hakiki adalah ketika Islam ditegakkan secara total. Ketika Khilafah Islamiyah hadir kembali sebagai pelindung umat dan pengatur kehidupan berdasarkan wahyu Allah. Itulah kemerdekaan yang membawa rahmat, bukan hanya bagi negeri ini, tetapi bagi seluruh dunia.
Merdeka sejati bukan hanya saat lepas dari Belanda, tetapi saat bebas dari sistem kufur peninggalan mereka. Perjuangkanlah kemerdekaan yang sesungguhnya—hidup dalam naungan syariat Islam, dalam bingkai Khilafah ala minhaj an-nubuwwah.
Via
Opini
Posting Komentar