Opini
Dirgahayu ke-80 Republik Indonesia: Sudahkah Kita Benar-Benar Merdeka?
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Pegiat Literasi)
TanahRibathMedia.Com—Merayakan 80 tahun kemerdekaan seharusnya menjadi refleksi. Benarkah kita sudah merdeka ataukah kemerdekaan itu hanya simbol di atas kertas, sementara rakyat sehari-hari masih tercekik? Maka berbagai pertanyaan yang tersisa masih begitu mengiris: Sudahkah kita benar-benar merdeka di antara banyaknya gempuran persoalan bangsa akhir-akhir ini?
1. Korupsi yang Merajalela
Indonesia menempati skor 37/100 pada Corruption Perceptions Index (CPI) 2024, duduk di peringkat 99 dari 180 negara, jauh di bawah rata-rata global dan regional yang mana hal ini menandakan korupsi publik yang masih mengakar (Sustain.id, 25-2-2025).
Di tahun 2025 pun rakyat Indonesia masih disuguhkan dengan berita-berita tentang kasus korupsi yang nilainya tak main-main. Dua di antaranya ada kasus korupsi Pertamina yang diperkirakan mencapai Rp 968,5 triliun, serta kasus korupsi PT Timah yang mencapai Rp 300T (Kompas.com, 18-6-2025).
2. Eksploitasi Sumberdaya alam yang kian ugal-ugalan
Pada 2024, deforestasi di Indonesia kembali meningkat untuk tahun ketiga berturut-turut. NGO Auriga Nusantara mencatat gundulnya hutan primer dan sekunder hingga sekitar 261.575 hektar (Siej.or.id, 6-2-2025).
Indonesia dikenal sebagai paru-paru dunia karena memiliki hutan hujan tropis yang masuk dalam kategori hutan lindung terluas dan terbanyak nomor 3 di dunia. Namun kini prestasi itu hanyalah kenangan, karena hutan di Indonesia kian mengalami deforestasi besar-besaran. Di sepanjang tahun 2023 saja, Indonesia kehilangan 257.384 hektare hutan, dan terus meningkat dari tahun ke tahun (Kompas.com, 28-3-2025).
3. Kemiskinan: Ketika Merdeka Tak Dinikmati Semua Orang
Menurut BPS, pada September 2024, tingkat kemiskinan mencapai 8,57%, dengan sekitar 24,06 juta warga masih hidup di bawah garis kemiskinan nasional.
Namun, pendekatan yang berbeda dari Bank Dunia menunjukkan angka lebih mencemaskan: 60,3% penduduk Indonesia tergolong miskin bila menggunakan garis kemiskinan global (US$6,85 PPP), atau sekitar 171,8 juta orang (Goodstats.id, 5-5-2025).
Masalah yang Tak Pernah Usai
Ketiga masalah di atas seolah tak ada ujung solusinya, namun masih ditambah oleh persoalan-persoalan lain yang menghimpit rakyat: meningkatnya pengangguran, sempitnya lapangan pekerjaan, mahalnya harga bahan pokok, hingga naiknya pajak. Kondisi ini membuat kita bertanya—benarkah kita sudah merdeka?
Akar Masalah: Sistem yang Salah
Masalah-masalah tersebut tidak berdiri sendiri. Semuanya berakar dari penerapan sistem sekuler-kapitalisme, sebuah bentuk penjajahan modern yang tak selalu hadir lewat senjata, tetapi melalui kebijakan dan kontrol ekonomi.
Sistem ini hanya menguntungkan pemilik modal dan kaum kapitalis, sementara rakyat banyak menjadi korban. Alam dieksploitasi tanpa memperhitungkan dampak kerusakan, kebijakan dibuat untuk melayani kepentingan pasar global, dan kesenjangan sosial semakin melebar.
Dengan dalih pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, sekuler-kapitalisme membiarkan sumber daya alam dijual murah, membuka lebar pintu investasi yang merugikan rakyat, dan membebani masyarakat dengan pajak serta biaya hidup tinggi. Inilah bentuk penjajahan gaya baru yang membuat kemerdekaan sejati tak kunjung terwujud.
Jika Sistem Islam yang Diterapkan
Berbeda dengan sekuler-kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan, sistem Islam menjadikan syariat sebagai dasar pengaturan negara, termasuk dalam ekonomi, politik, dan pengelolaan sumber daya.
1. Kepemilikan Umum SDA: Dalam Islam, kekayaan alam strategis seperti tambang, minyak, gas, dan hutan adalah milik rakyat yang dikelola negara untuk kepentingan rakyat, bukan untuk keuntungan segelintir investor.
2. Larangan Riba dan Korupsi: Praktik riba dihapus total, korupsi dihukum tegas tanpa tebang pilih, dan pejabat wajib bersih dari konflik kepentingan.
3. Jaminan Kebutuhan Pokok: Negara berkewajiban memenuhi kebutuhan dasar rakyat—pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan—tanpa menyerahkan pada mekanisme pasar bebas.
4. Sistem Islam: Solusi yang Menjamin Kesejahteraan
Berbeda dengan sistem sekuler-kapitalisme yang membiarkan penguasaan sumber daya oleh segelintir orang, sistem Islam mewajibkan pengelolaan kekayaan negara untuk kemaslahatan rakyat. Negara mengelola sendiri sumber daya alam dengan cara membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi masyarakat.
Dengan demikian, upah buruh yang diperoleh bisa jauh lebih layak karena tidak harus menyetorkan keuntungan kepada pemodal atau swasta. Selain untuk gaji yang layak, keuntungan pengelolaan SDA oleh negara juga dimasukkan ke Baitul Mal, lembaga keuangan negara yang mengatur pemasukan dan pengeluaran sesuai syariat.
Sumber pemasukan Baitul Mal meliputi zakat, kharaj, jizyah, fai’, ghanimah, dan hasil pengelolaan sumber daya alam. Dana tersebut digunakan untuk membiayai kebutuhan rakyat, mulai dari kesehatan, pendidikan, infrastruktur, jaminan sandang-pangan-papan yang murah, hingga menjamin kesejahteraan sosial secara menyeluruh. Dengan mekanisme ini, kekayaan negara benar-benar kembali kepada rakyat, bukan ke tangan segelintir elit atau korporasi asing.
Dengan penerapan sistem ini, kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas dari ketergantungan ekonomi, tekanan modal asing, dan eksploitasi rakyat.
Ketiga permasalahan besar—korupsi, eksploitasi SDA, dan kemiskinan—adalah indikasi bahwa kemerdekaan kita tertunda oleh sistem yang salah. Dipersempit lebih jauh, sistem ini merupakan penjajahan kontemporer yang menjarah negeri dengan dalih pembangunan.
Melihat perbedaan kedua sistem yang begitu mencolok antara sistem sekuler-kapitalisme dan Islam, maka sudah saatnya umat Muslim sadar dan mau memperjuangkan penegakan syariat Islam di bumi Indonesia tercinta. Bukan untuk apa, tetapi untuk siapa? Untuk kesejahteraan anak-cucu kita. Agar mereka benar-benar merasakan kemerdekaan Indonesia yang hakiki—tidak hanya di atas kertas, tetapi nyata dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Via
Opini
Posting Komentar