Opini
Saat Rumah Tak Lagi Ramah, Saatnya Kembali pada Islam
Oleh: Saffana Afra Zuhri
(Aktivis Mahasiswa)
TanahRibathMedia.Com—Kabar duka datang dari Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Rabu, 11 Juni 2025, seorang bayi perempuan umur 2 tahun tewas akibat pasangan suami istri yang mengasuhnya, yakni AYS (28) dan YP (24). Pasangan suami istri ini melakukan kekerasan pada korban yang merupakan anak dari IS (21) tahun yang dititipkan kepada mereka lantaran ibu korban sibuk bekerja dan telah berpisah dengan suaminya.
Awalnya dikabarkan bahwa korban terlibat kecelakaan lalu lintas, namun setelah jenazah diotopsi ditemukan adanya kekerasan yang menyebabkan korban meninggal. Akhirnya kedua pelaku mengakui perbuatannya bahwa setiap korban menangis, mereka menampar mulut korban, mencubit sekujur tubuh, bahkan menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Tidak cukup sampai di situ, mereka juga merekam aksi kejinya sambil tertawa. (medan.kompas.com, 15-6-2025).
Kabar lain datang dari kawasan Pasar Kebayoran Lama pada Rabu, 11 Juni 2025. Seorang anak berinisial M diduga disiksa orang tuanya. M ditemukan seorang diri dalam keadaan di atas kardus dan sedang tertidur di lorong pasar. M pun sempat mengaku disiksa orang tuanya dan akhirnya ditelantarkan. M ditemukan dalam kondisi tulang menonjol di pundak, luka bakar di wajah dan dagu yang terluka. Saat ini M sedang menjalani perawatan intensif di RSUD Kebayoran Lama (tirto.id, 13-6-2025).
Kekerasan terhadap anak, baik fisik, psikis, maupun seksual, merupakan tragedi kemanusiaan yang terus berulang di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Bebeberapa kasus di atas adalah kabar tentang kekerasan terhadap anak yang muncul dalam media massa di Indonesia. Dan tentunya, terdapat lebih banyak kasus yang tidak ‘terkabarkan’. Sepanjang tahun 2024, terdapat 19.628 kasus kekerasan terhadap anak dan terdapat 21.648 anak yang menjadi korbannya (siga.kemenpppa.go.id, 20-03-2025).
Ironisnya, dari kasus yang terdaftar, kekerasan ini terjadi di tempat yang seharusnya menjadi tempat ternyaman bagi anak-anak, yaitu rumah dimana seharusnya sebuah keluarga bernaung di bawahnya. Rumah yang seharusnya memberi tempat terhangat dan terdamai bagi anak, kini tak lagi ramah. Lebih pilunya lagi, ternyata pelaku kekerasan banyak dari orang terdekat anak. Bukan ‘orang jahat’, tetangga, atau siapa, tapi keluarga merekalah yang menjadi pelakunya. Ayah dan ibu yang seharusnya menjaga dan menyayanginya, yang seharusnya menjadi pihak pertama dan satu-satunya ‘tempat kembali’ dari kerasnya dunia, justru menjadi sumber kekerasan itu sendiri. Lantas kemana mereka harus ‘pulang’?
Fakta ini mencerminkan adanya kerusakan mendalam dalam struktur dan fungsi keluarga di masyarakat kita. Keluarga, yang seharusnya menjadi benteng utama perlindungan, justru berubah menjadi sumber bahaya. Lantas apa penyebabnya? Untuk memahami mengapa kekerasan terhadap anak begitu marak, kita tidak bisa hanya melihat pada faktor individu. Permasalahan ini adalah gejala dari sistemik yang jauh lebih besar. Salah satu penyebab utama adalah sistem kehidupan yang saat ini mengatur masyarakat—yakni sistem sekularisme kapitalisme.
Dalam sistem sekulerisme, dimana agama dipisahkan dari kehidupan, keluarga tidak lagi dibangun atas dasar keimanan. Membuat para orang tua tidak tahu bagaimana cara mendidik dan mengasuh anak, apalagi menyiapkan mereka menjadi generasi sholeh dan cemerlang. Mereka tidak lagi melihat keluarga sebagai amanah yang harus dijaga dengan nilai-nilai kebaikan, melainkan lebih banyak terjebak pada tuntutan materi dan gaya hidup individualistis. Sistem ini bahkan menghilangkan fitrah orang tua yang memiliki kewajiban melindungi anak-anak dan menjadikan rumah sebagai tempat yang paling ramah untuk anak.
Tekanan ekonomi dalam sistem kapitalisme juga sering dijadikan dalih untuk membenarkan kekerasan terhadap anak. Tidak sedikit orang tua yang melampiaskan stres karena kesulitan ekonomi dengan cara menyiksa atau bahkan menelantarkan anak-anak mereka. Sementara itu, tayangan media yang tidak mendidik dan lingkungan sosial yang permisif juga turut menjadi pemicu terjadinya kekerasan. Di tengah masyarakat yang semakin individualistik, kepedulian terhadap kondisi sekitar nyaris tidak ada. Inilah yang membuat kekerasan terhadap anak seringkali luput dari perhatian dan penanganan.
Memang, pemerintah Indonesia telah menetapkan berbagai regulasi dan undang-undang terkait perlindungan anak, juga tentang pembangunan keluarga. Namun, kenyataannya kebijakan ini belum mampu menuntaskan persoalan yang ada. Hal ini terjadi karena regulasi tersebut masih dibangun dalam kerangka pemikiran sekuler dan kapitalis, yang tidak mampu menyentuh akar persoalan secara menyeluruh. Padahal, kekerasan terhadap anak adalah masalah multidimensi, disebabkan oleh faktor yang kompleks dan saling berkelindan sehingga membutuhkan solusi mendasar dan komprehensif..
Islam hadir menawarkan sebuah sistem kehidupan yang lengkap dan menyeluruh. Karena Islam bukan hanya agama spiritual, tetapi juga sebuah ideologi (sistem hidup) yang memiliki solusi tuntas terhadap seluruh aspek kehidupan, termasuk urusan keluarga. Dalam pandangan Islam, keluarga memiliki fungsi yang sangat vital, tidak hanya sebagai tempat tinggal tetapi juga sebagai institusi pembentukan kepribadian Islam.
Islam mengajarkan bahwa keluarga adalah pelindung. Seperti yang tertuang dalam Qur’an,
"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (QS. At-Tahrim: 6).
Orang tua memiliki tanggung jawab besar untuk mendidik anak dengan nilai-nilai Islam sejak dini. Sehingga dalam keluarga akan terbentuk generasi yang sholeh, yang kuat imannya, bagus akhlaknya, dan besar mimpinya.
Negara dalam sistem Islam, yakni Khilafah, juga turut berperan dalam membangun ketahanan keluarga. Negara tidak akan membiarkan orang tua berjalan sendiri dalam menjalankan tugasnya. Edukasi mengenai peran dan hukum-hukum keluarga akan diberikan secara komprehensif, baik melalui kurikulum pendidikan maupun media informasi dari departemen penerangan khilafah. Semua ini karena dalam Islam, negara adalah pelindung (junnah) dan pengurus (rain) bagi rakyatnya.
“Sesungguhnya imam/khalifah adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung.” (HR. Muslim).
Lebih dari itu, penerapan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh) akan menjamin terciptanya kesejahteraan dan ketenteraman jiwa. Sistem ekonomi Islam yang adil akan mencegah terjadinya kesenjangan sosial yang menjadi pemicu tekanan dalam keluarga. Sistem sosial Islam akan membangun hubungan masyarakat yang saling peduli, bukan individualistis seperti dalam sistem kapitalisme.
Dengan demikian, pelaksanaan Islam dalam seluruh aspek kehidupan—mulai dari pendidikan, ekonomi, sosial, hingga hukum—akan menghasilkan masyarakat yang kuat, keluarga yang tangguh, dan anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang aman dan penuh kasih sayang. Hanya dalam naungan Khilafah, anak-anak akan terlindungi sepenuhnya dan keluarga akan menjalankan perannya sebagai fondasi utama peradaban.
Via
Opini
Posting Komentar