Opini
Mengungkap Akar dan Fakta Maraknya Anak Menjadi Pelaku Kekerasan Seksual
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Fenomena tragis yang menyeret anak-anak kini marak terjadi. Mereka menjadi pelaku pelecehan seksual, pemerkosaan, bahkan sodomi kepada teman sebayanya maupun anak di bawah usia mereka. Data dan fakta terbaru menunjukkan bahwa kondisi ini bukan sekadar kasus individu, tetapi sinyal kerentanan sistem pendidikan, keluarga, media, masyarakat dan juga peran negara terhadap moralitas anak.
Berdasarkan data SIMFONI‑PPA KemenPPPA, sejak 1 Januari 2025 hingga kini, tercatat 12.463 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Di antaranya, 2.578 korban laki‑laki, dan 10.710 perempuan (Sulsel.idntimes.com, 13-5-2205).
Di Bekasi, seorang anak 8 tahun dilaporkan melakukan sodomi terhadap teman seusianya, dengan korban mencapai 7–9 anak, dan kasus ini kini masih dalam penanganan pihak kepolisian (Kompas.id, 11-6-2025). Kemudian kasus sebelumnya juga terjadi di Jambi, seorang remaja berusia 12 tahun dilaporkan telah menyodomi temannya yang berusia 9 tahun (Detik.com, 30-1-2025). Kasus serupa juga terjadi di Pekanbaru pada tahun 2024 lalu, seorang bocah TK dilaporkan ke pihak kepolisian lantaran telah melakukan pelecehan seksual kepada teman sekelasnya (Detik.com, 12-1-2024).
Kasus-kasus kekerasan seksual pada anak bukan sekadar statistik atau berita semata, tetapi hal ini menunjukkan bahwa anak-anak yang semestinya masih dalam dunia bermain, kini malah menjadi pelaku kejahatan seksual. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Menurut Komisi Perlindungan Anak, sebagian besar pelaku remaja atau dewasa muda telah kecanduan pornografi dan meniru apa yang mereka lihat di internet. Sementara, menurut data riset dari Universitas Airlangga, maraknya kasus ini dikarenakan kurangnya pendidikan seksual dan moral, baik dari orangtua maupun dari pihak sekolah.
Namun, akar dari penyebab masalah ini jarang sekali diuraikan dengan sangat detail, yakni bagaimana peran pemerintah dalam menanggulangi akar dari masalah ini.
Tidak bisa dipungkiri bahwa penyebab maraknya kasus pelecehan seksual yang bahkan pelakunya anak-anak adalah adanya tontonan berbau pornografi di ponsel. Tidak sedikit anak-anak yang berani melakukan pelecehan seksual kepada temannya ini mengakui bahwa mereka mendapatkan inspirasi melakukan hal itu dari tontonan di gadget orangtuanya. Artinya apa? Video-video berbau pornografi masih mudah masuk ke tengah masyarakat. Artinya penjagaan dari pemerintah masih belum totalitas untuk memblokir dan menutup akses situs-situs pornografi.
Karena penjagaan dari peredaran video porno oleh orangtua kepada anaknya saja tidak cukup jikalau orangtuanya pun masih punya kesempatan besar untuk bisa mengakses dan menontonnya. Selain itu, paham sekularisme sudah mengakar di dalam diri umat hingga saat mereka melakukan kemaksiatan, tak ada rasa dosa atau takut akan konsekuensinya kecuali hanya pikiran bahwa ia bebas melakukan apapun asal tidak menganggu orang lain.
Padahal pemikiran ini jelas menyesatkan. Meski sekilas menonton video porno bukanlah sebuah kejahatan di dalam sistem yang diterapkan pemerintah hari ini, namun dampak dari candunya seseorang akan video porno ini jelas akan merusak otak mereka melebihi rusaknya seseorang kecanduan narkoba. Kecanduannya seseorang dengan video porno akan membutakan mata mereka hingga akhirnya tanpa rasa takut mereka akan melakukan pelecehan-pelecehan seksual akibat dari stimulasi yang didapat otaknya secara terus menerus. Tak hanya orang dewasa, bahkan anak-anak yang dampaknya bisa lebih parah mengingat akal mereka belum sempurna.
Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan parenting orangtua maupun sistem pendidikan yang mengajarkan moralitas saja, tetapi juga wajib adanya penjagaan dari pemerintah di segala lini. Misalnya di segi pendidikan, pemerintah menjalankan kurikulum dengan jumlah jam lebih banyak untuk mata pelajaran pemahaman agama dan akidah Islam, yang mana dengannya para peserta didik akan memahami betul apa itu Islam serta bagaimana berakidah dengan lurus. Karena dengan penanaman akidah yang lurus itu, akan terbentuk pola kepribadian yang takut kepada Tuhannya hingga membuahkan kepada para peserta didik sikap hati-hati dalam setiap tindak tanduknya.
Dari segi parenting, pemerintah tidak hanya bertugas menikahkan dan mencatat pernikahan saja, tetapi juga memberikan bimbingan bagaimana menjalani pernikahan, bagaimana seharusnya sebagai suami dan istri, serta bagaimana cara mendidik anak-anak. Sehingga dengan ini para calon orangtua akan tahu kelak bagaimana cara mereka mendidik anak dan apa tujuan mereka mendidik anak-anaknya.
Lalu dari segi masyarakat, sesama mereka membentuk pola amal makruf nahi mungkar di tengah masyarakat. Sehingga apabila ada salah satu warga negara melakukan pelanggaran akan mendapatkan sanksi sosial dan untuk para korban tidak akan takut bersuara bila mereka terzalimi.
Dan dari segi pemerintah, selain menutup rapat akses masuknya video porno, dari segi hukum juga menjalankan sistem hukum dengan adil dan setimpal serta memberikan efek jera. Untuk para pezina yang belum menikah misalnya, jika terbukti melakukan perzinaan akan dicambuk seratus kali, sedangkan pezina yang sudah menikah akan dikenai hukuman rajam sampai mati.
Hanya saja, solusi di atas tidak akan pernah terlaksana selagi pemerintah masih mengadopsi sistem Barat, sistem sekuler-kapitalisme yang justru akan memperparah kasus-kasus yang tengah marak kini. Solusi paripurna hanya jika Islam diterapkan secara kaffah sebagai sistem pengaturan negara dalam naungan khilafah.
Oleh karenanya, apabila masyarakat ingin agar keadilan dan kesejahteraan benar-benar terjadi, maka memperjuangkan penegakan hukum Islam sebagai hukum satu-satunya negeri ini adalah kewajiban. Karena hanya dengan solusi hakiki dari Islamlah segala hal buruk yang terjadi pada hari ini dapat terselesaikan dengan baik.
Via
Opini
Posting Komentar