Opini
Dulu Privasi, Sekarang Dipublikasikan
Oleh: Siti Maimunah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Kita hidup di zaman di mana batas antara kehidupan pribadi dan publik semakin kabur. Seolah-olah semuanya layak dibagikan ke media sosial demi engagement atau validasi semata. Banyak hal yang dulu dianggap sebagai ranah pribadi, kini malah dipublikasikan secara terbuka, bahkan tanpa rasa malu. Dari sinilah muncul fenomena oversharing.
Media sosial kini menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan sadar dan leluasa, seseorang mengunggah berbagai peristiwa dalam hidupnya, mulai dari urusan pribadi, pekerjaan, keluarga, hingga hal-hal yang remeh, seperti berjoget dan berlenggak-lenggok tanpa rasa malu. Semua ini menunjukkan meningkatnya perilaku ‘oversharing’ yang merusak batasan moral dan etika.
Inilah potret kehidupan sekuler, di mana hal-hal yang seharusnya bersifat privasi justru menjadi konsumsi publik. Hidup dalam sistem sekuler membuat banyak orang merasa takut tertinggal tren. Tak hanya itu, gaya hidup hedonis pun semakin menjamur.
Akibatnya, media sosial dipenuhi konten-konten tak layak: foto jenazah yang seharusnya menjadi momen duka malah diposting lengkap dengan caption panjang dan filter dramatis; tutorial makeup yang terlalu menonjolkan aurat; promosi skincare dengan suara manja yang mengundang fitnah; berjoget mengikuti tren tanpa rasa malu; pamer kekayaan hingga kemesraan rumah tangga yang seharusnya menjadi ranah pribadi. Semua ini menunjukkan bagaimana oversharing membawa dampak negatif.
Teknologi yang seharusnya menjadi alat bantu justru membuka jalan lebih luas bagi kemaksiatan. Sifat riya’ (pamer) tumbuh subur, dan peluang penyebaran konten pornografi pun meningkat. Menurut data National Center for Missing and Exploited Children, sepanjang 2020 hingga 2024 terdapat 5,6 juta konten pornografi yang terungkap di Indonesia (Muslimah News, 09-02-2025).
Lebih menyedihkan lagi, mayoritas pengguna media sosial adalah pelajar. Data Statistik Pendidikan 2024 dari BPS mencatat bahwa hampir seluruh peserta didik usia 5–24 tahun menggunakan internet untuk hiburan (90,76%). Sebanyak 67,65% dari mereka menggunakan internet untuk mengakses media sosial, dan hanya 27,53% yang memanfaatkannya untuk pembelajaran daring.
Data ini adalah buah dari sistem sekuler-kapitalisme yang mengusung kebebasan gaya hidup ala Barat. Apa pun yang menghasilkan uang dan menarik perhatian akan terus diproduksi dan disebarluaskan oleh pemilik kepentingan. Sistem sekuler telah mengakar kuat pada generasi muda yang digadang-gadang sebagai generasi emas, tetapi justru kehilangan semangat amar makruf nahi munkar. Mereka menjadi individualis dan permisif terhadap kemaksiatan.
Dari pemaparan di atas, terlihat jelas dampak negatif dari sistem sekuler yang memisahkan kehidupan dengan agama. Akibatnya, kontrol keluarga, peran masyarakat, dan nilai keimanan menjadi lemah, bahkan dianggap tabu.
Berbeda halnya dengan Islam, yang memiliki tiga pilar pelindung dan penyelamat generasi:
1. Peran Negara
Dalam sistem Islam (khilafah), negara akan menerapkan sistem politik, ekonomi, dan pendidikan berdasarkan syariat. Negara akan memfilter serta membatasi konten yang boleh atau tidak boleh disebarluaskan demi menjaga moral generasi. Pendidikan juga dibangun berdasarkan akidah Islam.
2. Kontrol Sosial Masyarakat
Masyarakat memiliki tanggung jawab untuk saling menasihati dan mencegah kemungkaran. Budaya amar makruf nahi munkar dijalankan bersama.
3. Fungsi Keluarga
Keluarga menjadi tempat bernaung, tempat anak-anak mendapat bimbingan dan kasih sayang orang tua. Pendidikan dalam keluarga berdasarkan syariat akan membentuk generasi saleh dan berakhlak mulia.
Via
Opini
Posting Komentar