Telusuri
  • Pedoman Media
  • Disclaimer
  • Info Iklan
  • Form Pengaduan
  • Home
  • Berita
    • Nasional
    • Lensa Daerah
    • Internasional
  • Afkar
    • Opini Tokoh
    • Opini Anda
    • Editorial
  • Remaja
    • Video
  • Sejarah
  • Analisa
    • Tsaqofah
    • Hukum
  • Featured
    • Keluarga
    • Pernikahan
    • Pendidikan Anak
    • Pendidikan Remaja
    • FiksiBaru
Tanah Ribath Media
Beranda OPINI Generasi yang Terluka: Saat ‘Bullying’ Menjadi Penyakit Sistemik di Dunia Pendidikan
OPINI

Generasi yang Terluka: Saat ‘Bullying’ Menjadi Penyakit Sistemik di Dunia Pendidikan

Tanah Ribath Media
Tanah Ribath Media
18 Nov, 2025 0 0
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp

Oleh: Haifa Manar
(Penulis dan Aktivis Dakwah)


TanahRibathMedia.Com—Bullying bukan sekadar konflik antar remaja yang bisa selesai dengan permintaan maaf dan berjabat tangan. Terutama di sekolah, bullying bukan lagi persoalan sederhana yang dapat diselesaikan dengan petuah ringan atau mediasi singkat antara guru dan siswa. Fakta tragis dari beberapa wilayah Indonesia menjadi gambaran nyata ketika seorang santri membakar asrama pesantrennya setelah menanggung rasa sakit hati akibat bullying yang terus menimpa dirinya (Kumparan.com, 07-11-2025). 

Sementara di sebuah SMA negeri di Jakarta, ada ledakan terjadi dan pelakunya diduga adalah korban perundungan yang sudah lama menanggung tekanan sosial—yang tak lagi mampu ia bendung (CNNIndonesia.com, 08-11-2025).

Dengan demikian, korban bullying kini tidak lagi hanya menangis diam-diam; Mereka beralih menjadi pelaku tindakan ekstrem yang membahayakan nyawa banyak orang. Dengan kata lain, hal tersebut bukan sekadar pelanggaran disiplin, melainkan jeritan terakhir dari jiwa yang sudah lama tidak diperhatikan. Sebab tidak ada manusia yang sudah jahat sejak awal mereka dilahirkan, melainkan mereka yang tumbuh dengan tindakan dari lingkungan, kelalaian sistem, dan hilangnya adab hingga perlahan-lahan menjadikan mereka sosok yang mencari pelampiasan dalam bentuk kehancuran.

Fenomena ini menunjukkan, bahwa nyatanya kita sedang menghadapi masalah besar yang tidak lagi bisa dianggap sebagai kenakalan remaja. Sebab kita sedang berhadapan dengan generasi yang terluka, dan merasa tidak memiliki ruang untuk melindungi dirinya sendiri. Tatkala pelampiasan dendam menjadi satu-satunya jalan yang tersisa, itu artinya sistem pendidikan saat ini telah gagal menjadi tempat perlindungan bagi setiap anak maupun remaja.

Ketika Tawa di Kelas Menyembunyikan Air Mata

Pada dasarnya, keberadaan bullying tidak lagi terbatas pada satu sekolah tertentu atau wilayah tertentu. Ia menyebar luas, menular dari satu lingkungan pendidikan ke lingkungan lainnya, lalu berkembang diam-diam seperti racun yang mampu merusak hati dan pikiran manusia. Di pesantren, fenomena perundungan kemudian menyentuh para santri yang seharusnya hidup dalam keteduhan agama Islam. Di sekolah negeri, perundungan bisa menyerupai bentuk ejekan, pengucilan, hingga kekerasan fisik dan mental. Oleh karena itu, semua bentuk perundungan ini membentuk generasi yang rapuh secara psikologis, tetapi terpaksa terlihat kuat untuk bertahan hidup dan tampak “baik-baik saja”.

Oleh sebab itu, bullying yang dibiarkan berkembang berubah menjadi budaya—sehingga hal itu tumbuh dalam kelas, koridor sekolah, bahkan dalam kelompok rohis maupun ekstrakurikuler, yakni candaan yang merendahkan dianggap hiburan, hinaan dianggap kewajaran, dan pengucilan dianggap bagian dari proses bersosialisasi. Padahal, di balik setiap canda yang melukai, ada air mata yang tertahan. Di balik setiap ejekan yang diulang-ulang, ada harga diri yang hancur perlahan. Untuk itu, masa depan generasi bukan hanya dirusak oleh pelaku bullying, tetapi juga oleh sikap diamnya pihak sekolah dan masyarakat yang menganggap semua ini hanya dinamika remaja biasa.

Media Sosial: di Balik Layar, Ada Tangis yang Tak Terdengar

Di samping itu, dunia digital bisa memperluas luka tersebut hingga seolah tidak ada lagi batasan. Jika dahulu bullying berhenti ketika gerbang sekolah ditutup, kini ia mengikuti korban sampai ke rumah, ke kamar, bahkan mengintai sewaktu mereka sendirian dalam kegelapan malam hingga mereka memejamkan mata. Sebuah ironi, di mana dunia maya telah menciptakan ruang tanpa batas bagi perundungan untuk terus hidup dan berkembang. Sehingga media sosial bukan lagi tempat mencari hiburan dan pertemanan bagi para remaja, melainkan menjadi panggung yang menampilkan rasa sakit seseorang sebagai konsumsi publik.

Selanjutnya, berbagai ejekan kemudian direkam dan diunggah, lalu ditonton oleh ribuan bahkan jutaan pasang mata. Konten berisi penghinaan itu pun dipenuhi komentar bernada merendahkan, dan membuat korban bertarung melawan rasa malu akibat konten berisi perundungan tersebut viral. Sementara itu, pelaku merasa memiliki panggung yang besar untuk menunjukkan kekuasaan mereka melalui kejahatan yang dibagikannya ke publik. Sebab saat ini, kita sedang hidup di era tatkala rasa sakit seseorang bisa dijadikan hiburan massal bagi orang lain.

Di sisi lain, media sosial juga dapat memberikan referensi negatif tentang bagaimana cara korban agar bisa melampiaskan dendam mereka. Maka dari itu, jika ada aksi ledakan di sekolah yang kemudian viral, pembakaran fasilitas, atau tindakan kekerasan lainnya, korban bullying yang lain pun akan belajar, bahwa tindakan ekstrem itulah cara untuk membalas luka yang selama ini diabaikan. Jadi, krisis adab di era digital bukan lagi ancaman—hal itu sudah terjadi dan mampu merusak jiwa generasi muda secara nyata. Yang akibatnya, para korban tidak hanya menderita, mereka pun belajar menyakiti, karena itulah bahasa yang pada akhirnya diperhatikan oleh orang-orang di sekitarnya.

Ketika Korban Menjadi Pelaku, Siapa yang Sesungguhnya Gagal?

Dalam konteks ini, dua kasus besar yang muncul ke publik tidak hadir dari kehampaan. Sebab sebelum adanya ledakan atau kobaran api, ada penderitaan yang diabaikan terlalu lama. Kita sibuk mencari siapa yang salah tanpa pernah memeriksa apa akar masalahnya. Pun, korban langsung dilabeli sebagai pelaku kriminal, padahal ia bukan secara tiba-tiba berubah menjadi pelaku.
 Sementara itu, masa lalunya sebagai korban bullying bertahun-tahun luput dari sorotan, di mana masyarakat acapkali memilih untuk melihat ledakan yang terjadi, alih-alih tekanan apa yang berhasil meledakkannya. Padahal ia adalah jiwa yang setiap harinya disayat dengan kata-kata hinaan, sering diremehkan, bahkan ditiadakan eksistensinya.

Akan tetapi, tidak sedikit masyarakat yang hanya fokus pada tindakan ekstrem yang muncul di permukaan. Kita baru tergagap dan terperanjat tatkala gedung terbakar, ketika suasana sekolah kemudian gaduh akibat dari suara ledakan. Namun, kita kerap lupa bahwa jauh sebelumnya, sebelum api membakar asrama atau bahan peledak merusak sekolah, korban bullying telah menunjukkan sinyal melalui perilaku menyendiri, prestasi yang menurun, bahkan keinginan untuk putus sekolah. Ironisnya, semua hal tersebut dianggap fase biasa. Sehingga tidak ada orang dewasa yang memeluk, tidak ada yang bertanya … apakah kamu baik-baik saja? Juga tidak ada yang mendengar jeritan—yang sebenarnya sudah lama terpendam dalam diam. Demikian, sekolah seakan-akan sunyi tanpa memberi dukungan empati.

Selain itu, seharusnya kita bertanya: siapa yang sesungguhnya gagal? Apakah para remaja, masyarakat yang membiarkannya tenggelam tanpa pertolongan, atau sistem yang kemudian menjadikan penderitaan mereka tak terindra?

Sistem Pendidikan Sekuler-Kapitalistik: Fokus Pada Angka, Bukan Jiwa Manusia

Sehubungan dengan hal itu, analisis mendalam menunjukkan bahwa akar masalah ini tidak dapat dipisahkan dari arah pendidikan saat ini yang menganut sistem sekuler dan kapitalistik. Sistem pendidikan saat ini lebih banyak mengejar target materi, nilai akademis, standar ujian, dan persaingan menuju universitas ternama maupun dunia kerja. Parameter keberhasilan bergantung pada pencapaian materi, bukan pada kualitas akhlak. Sehingga adab dan akhlak hanya menjadi tambahan yang dipromosikan ketika diperlukan—bukan menjadi fondasi utama.

Dalam sistem ini, peserta didik hanya dinilai dari angka, rapor, ranking, dan prestasi akademik. Sementara itu, kesehatan mental hanya menjadi isu sampingan yang tidak pernah disentuh secara serius. Tatkala pendidikan gagal memanusiakan manusia, maka ia akan terus melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi kosong secara nurani dan moral. Mereka mampu menguasai rumus matematika, tetapi tidak mampu memahami rasa sakit yang dialami oleh temannya. Mereka mampu mempresentasikan teori sosiologi, tetapi tidak mampu berempati secara sosial.

Maka, inilah kegagalan sistemik yang harus diakui, bahwa sistem pendidikan saat ini telah kehilangan jiwanya.

Sistem Pendidikan Islam: Menyembuhkan Luka, Membangun Jiwa

Sebaliknya, Islam menawarkan konsep pendidikan yang menyeluruh, bukan sekadar penguasaan pada materi pelajaran. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian Islam dalam diri peserta didik, yaitu pola pikir dan pola sikap yang berlandaskan akidah. Pendidikan dalam Islam juga membina aspek ruhiyah, maknawi, dan moral secara intensif. Sehingga adab bukan sekadar mata pelajaran, melainkan nilai yang mengalir dalam setiap interaksi, pun dalam setiap pelajaran yang diberikan.

Artinya, kurikulum berbasis akidah menanamkan pemahaman bahwa setiap manusia memiliki kehormatan yang tidak boleh diremehkan. Peserta didik pun didorong untuk menyayangi sesamanya, menjaga kehormatan orang lain, dan menghindari kezaliman dalam bentuk apa pun karena ketaatannya pada Allah. Dengan itu, bullying bukan hanya menjadi pelanggaran tata tertib dan berkonsekuensi sosial, tetapi menjadi hisab di akhirat kelak karena tindakan tersebut bertentangan dengan perintah Allah.

Sesungguhnya, sistem pendidikan Islam membangun generasi yang lembut hatinya, kuat imannya, dan terdidik akhlaknya. Generasi yang bukan hanya takut pada sanksi sekolah, tetapi sadar bahwa setiap tindakannya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Sang Pencipta. Sebagaimana firman Allah ‘Azza Wa Jalla di surah Yasin ayat 65:

اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلٰۤى اَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَاۤ اَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ اَرْجُلُهُمْ بِمَا كَا نُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Yasin 36: 65)

Khilafah sebagai Perisai Terakhir dari Gelombang Kehancuran Moral

Pada prinsipnya, pendidikan Islam tidak akan berjalan maksimal tanpa negara yang menegakkan nilai Islam sebagai sistem kehidupan. Dalam Islam, negara dengan sistem Khilafah bukan sekadar regulator pendidikan, tetapi pelindung moral dan penjaga generasi. Negara wajib memastikan setiap anak mendapatkan pendidikan yang benar, pembinaan karakter yang konsisten, serta perlindungan dari setiap bentuk kezaliman sosial.

Selanjutnya, di mana negara sebagai penjamin utama dalam Islam: negara wajib menjamin pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat tanpa adanya diskriminasi, memberikan hukuman tegas kepada pelaku bullying, memberikan pendampingan serius kepada korban bullying, menciptakan lingkungan sosial yang mengutamakan akhlak, serta memastikan seluruh kurikulum berbasis akidah Islam sehingga adab menjadi karakter yang melekat, bukan sekadar teori hafalan belaka.

Dalam sistem Islam, negara tidak membiarkan sekolah menjadi ladang perundungan; ia hadir untuk menyelesaikan masalah sebelum menjadi bencana. Negara pun menghilangkan akar bullying bukan hanya dengan sanksi, tetapi dengan membangun masyarakat yang memiliki budaya saling menjaga kehormatan sesama manusia. Dengan dukungan sistem pendidikan Islam yang kokoh, sekolah tidak lagi menjadi tempat yang menakutkan, melainkan menjadi taman bagi tumbuhnya akhlak mulia, rasa aman, dan hubungan sosial yang sehat.

Selamatkan Generasi, Sebelum Luka Mereka Menjadi Bara yang Membakar Dunia

Pada akhirnya, jika kita ingin menyelamatkan masa depan generasi muda, maka kita harus berani mengakui bahwa sistem pendidikan yang ada hari ini telah gagal dalam membentuk manusia yang berakhlak dan beradab. Kasus santri yang membakar asrama dan siswa yang memicu ledakan sekolah adalah simbol generasi yang berteriak meminta pertolongan, setelah mereka tidak tahu lagi bagaimana cara menyalurkan rasa sakitnya. Mereka bukan ancaman yang harus dikutuk, tetapi cermin bagi kita untuk melihat seberapa jauh pendidikan telah melalaikan perannya.

Oleh karena itu, setiap anak berhak tumbuh dalam rasa aman, berhak mendapat perlakuan yang manusiawi, dan berhak untuk tidak menjadi korban dalam sistem yang lalai menjalankan tugasnya. Kita harus menyembuhkan luka yang meradang sebelum menjadi ledakan berikutnya. Kita harus menghadirkan pendidikan yang menanamkan nilai, bukan sekadar menghafal materi. Kita harus menghentikan rantai kejahatan ini sebelum lebih banyak nyawa yang terancam. Kita harus sadar lebih awal, hadir lebih sering, mendengar lebih baik, dan melindungi lebih erat. Kita tidak boleh membiarkan sistem yang gagal terus mencetak generasi yang terluka.

Untuk itu, pendidikan Islam di bawah naungan Khilafah adalah jawaban yang mampu mengembalikan kehormatan manusia serta menjamin keselamatan generasi. Sebab masa depan kita tidak ditentukan oleh gedung sekolah yang tinggi, tetapi oleh akhlak generasi yang keluar dari dalamnya. Karena anak-anak yang hari ini kita sebut “pelaku”, sesungguhnya adalah korban dari sistem yang membiarkan mereka hancur sendirian. Maka, tugas kita bukan hanya menegur tindakan mereka, tetapi memperbaiki akar yang membuat mereka kemudian mampu melukai.

Berkaitan dengan itu, ancaman terbesar adalah jika kita tetap tinggal diam, lalu menganggap ini hanya masalah individu dan bukan persoalan sistemik. Kita harus memilih: apakah ingin terus hidup di dunia yang melahirkan generasi yang terluka dan siap meledak kapan saja, atau membangun sistem pendidikan yang memuliakan manusia, menjaga jiwa, dan menumbuhkan generasi yang saling menjaga? Sebab para remaja bukanlah musuh, mereka adalah amanah. Dan amanah itu hanya bisa dijaga dengan sistem pendidikan Islam yang menyeluruh, bertumpu pada akidah, dibangun oleh negara yang menjalankan perintah Allah secara kaffah, yaitu Khilafah.

Sebagai kesimpulan, jikalau kita benar-benar ingin menyelamatkan masa depan bangsa, maka jawabannya jelas—kembalikan pendidikan kepada sistem Islam, kembalikan perlindungan generasi kepada sistem Khilafah. Karena hanya dengan itu, bullying dapat dihentikan dari akarnya, dan luka generasi dapat disembuhkan sebelum berubah menjadi bencana berikutnya, sebab negara tidak membiarkan mereka terluka sendirian.

Wallahua’lam bish-showab.
Via OPINI
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru

Anda mungkin menyukai postingan ini

Posting Komentar

- Advertisment -
Pasang Iklan Murah
- Advertisment -
Pasang Iklan Murah

Featured Post

Upah Tinggi Jadi Kambing Hitam, Akar Masalah Industri Justru Terabaikan

Tanah Ribath Media- Desember 04, 2025 0
Upah Tinggi Jadi Kambing Hitam, Akar Masalah Industri Justru Terabaikan
Oleh: Eka Sulistya (Sahabat Tanah Ribath Media) TanahRibathMedia.Com— Cikarang dan Karawang Selama Ini Menjadi Magnet Industri. Kedua wilayah ini d…

Most Popular

Penculikan Anak kembali Marak

Penculikan Anak kembali Marak

Desember 02, 2025
Gaza masih Berdarah, Dunia Diam

Gaza masih Berdarah, Dunia Diam

Desember 02, 2025
Ramai Remaja Bundir, Tersebab Sistem yang Pandir

Ramai Remaja Bundir, Tersebab Sistem yang Pandir

November 26, 2025

Editor Post

Tak Habis Pikir

Tak Habis Pikir

Juni 11, 2023
Untuk Engkau yang Merindu Bahagia

Untuk Engkau yang Merindu Bahagia

Juni 09, 2023
Anak Terjerat Prostitusi Online, Dimana Perlindungan Negara?

Anak Terjerat Prostitusi Online, Dimana Perlindungan Negara?

Agustus 06, 2024

Popular Post

Penculikan Anak kembali Marak

Penculikan Anak kembali Marak

Desember 02, 2025
Gaza masih Berdarah, Dunia Diam

Gaza masih Berdarah, Dunia Diam

Desember 02, 2025
Ramai Remaja Bundir, Tersebab Sistem yang Pandir

Ramai Remaja Bundir, Tersebab Sistem yang Pandir

November 26, 2025

Populart Categoris

Tanah Ribath Media

Tentang Kami

Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Contact us: contact@gmail.com

Follow Us

Copyright © 2023 Tanah Ribath Media All Right Reserved
  • Disclaimer
  • Privacy
  • Advertisement
  • Contact Us