Opini
FTZ Batam, Bintan, dan Karimun: agar Lumbung Insentif Tak menjadi Menara Gading
Oleh: Mutmainah Iin
(Ibu Rumah Tangga, Pengemban Dakwah Ideologis)
TanahRibathMedia.Com—Hadirnya kawasan Free Trade Zone (FTZ) di Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) awalnya disambut sebagai kabar baik. Pemerintah menaruh harapan besar: kawasan ini akan menjadi lumbung insentif pajak, membuka lapangan kerja, dan menjadi lokomotif ekonomi di Kepulauan Riau (Sumatera.bisnis.com, 27-8-2025).
Namun, di balik gemerlapnya pertumbuhan Batam yang kini menyumbang lebih dari 46 persen investasi asing di Kepri, muncul tanda tanya dari hati seorang ibu: apakah FTZ ini sungguh membawa keberkahan bagi seluruh rakyat atau justru hanya menjadi menara gading ekonomi megah dari luar, tetapi sulit dijangkau masyarakat bawah?
Fakta di lapangan menunjukkan pertumbuhan ekonomi di kawasan BBK belum merata. Batam terus melaju dengan infrastruktur industri dan investasi besar, sementara Bintan dan Karimun tertinggal karena persoalan klasik: tumpang tindih regulasi, lemahnya kelembagaan, dan fragmentasi lahan milik masyarakat yang menyulitkan konsolidasi industri.
Di sisi lain, ratusan perusahaan asing dan domestik berebut insentif pajak di kawasan FTZ, sementara masyarakat lokal masih berjuang menghadapi harga kebutuhan yang tinggi dan akses pekerjaan yang terbatas. FTZ akhirnya tampak seperti proyek besar yang menguntungkan segelintir kalangan, tetapi belum mampu menyentuh akar kehidupan masyarakat pesisir.
Sebagai seorang ibu, saya melihat ini dengan hati yang gelisah. Sebab, pembangunan seharusnya tidak diukur hanya dari angka investasi, tetapi dari sejauh mana rakyat kecil merasakan keadilan ekonomi. Islam mengingatkan:
“Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu.”
(TQS. Al-Hasyr: 7)
Bila kebijakan ekonomi hanya berpihak pada pemodal besar, sementara rakyat menjadi penonton, maka kita sedang membangun menara tinggi tanpa fondasi keadilan sosial.
Pandangan Islam sebagai Jalan Tuntas
Untuk menuntaskan masalah ketimpangan ini, dibutuhkan solusi yang lebih mendasar—bukan sekadar tambal sulam regulasi, melainkan perubahan sistemik yang berlandaskan nilai-nilai Islam.
1. Negara sebagai pengurus rakyat, bukan sekadar fasilitator investor.
Dalam pandangan Islam, negara wajib memastikan seluruh kebijakan ekonomi bertujuan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, bukan semata menarik modal. Negara hadir sebagai raa’in (pengurus), bukan penonton.
2. Kepemilikan umum dikelola negara, bukan swasta atau asing.
Sumber daya vital seperti pelabuhan, energi, dan lahan industri adalah milik rakyat yang harus dikelola negara untuk kesejahteraan bersama. Rasulullah ï·º bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah)
Prinsip ini menutup peluang monopoli kekayaan oleh korporasi atau pihak asing.
3. Distribusi kekayaan melalui Baitul Mal.
Dalam sistem ekonomi Islam, hasil pengelolaan sumber daya dan pendapatan negara disalurkan langsung untuk kepentingan rakyat: pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur—tanpa membebani masyarakat dengan pajak yang menindas.
4. Kawasan ekonomi dibangun berdasarkan kebutuhan umat.
Islam menuntun agar kebijakan pembangunan disusun berdasarkan potensi lokal dan kebutuhan masyarakat. FTZ semestinya tidak diarahkan semata untuk ekspor, melainkan juga untuk memperkuat ekonomi domestik dan memberdayakan rakyat.
5. Pemimpin amanah dan bertakwa.
Dalam Islam, pemimpin sadar bahwa setiap kebijakan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Ia tidak akan menukar kesejahteraan rakyat dengan janji investor.
Sebagai ibu dan pengemban dakwah, saya ingin negeri ini berdiri di atas keadilan, bukan kesenjangan. Saya ingin melihat FTZ bukan hanya sebagai simbol kemajuan ekonomi, tetapi juga sebagai tempat rakyat menemukan harapan.
Jika pembangunan dijalankan di atas fondasi sistem Islam yang adil dan kaffah, insyaallah FTZ tidak akan lagi menjadi “menara gading”, melainkan lumbung berkah—tempat rezeki mengalir untuk semua, bukan hanya segelintir.
Karena hanya dengan Islam, pembangunan akan kembali berpihak pada manusia, bukan pada modal. Dan hanya dengan Islam pula, kemakmuran akan menjadi rahmat yang benar-benar menyentuh hati seluruh rakyatnya.
Via
Opini
Posting Komentar