Opini
Petugas Haji Tak Harus Muslim, Benarkah?
Oleh: Pudji Arijanti
(Pegiat Literasi untuk Peradaban)
TanahRibathMedia.Com—Ibadah haji adalah momen sakral bagi seorang muslim. Oleh karena itu, di balik lancarnya penyelenggaraan haji ada peran penting para petugas haji. Sehingga petugas haji diharapkan memiliki pemahaman dan sensitivitas yang tinggi terhadap rukun haji sehingga jamaah haji dapat menjalankan ibadah haji dengan lancar, khidmat, dan sesuai dengan syariat Islam.
Oleh karena itu, wacana pemerintah akan menjadikan nonmuslim sebagai petugas haji menjadi tanda tanya besar. Seolah haji adalah hal yang remeh-temeh tanpa persiapan ilmu, mental bahkan materi.
Jika demikian, Ada yang menggelitik dan perlu dicermati atas wacana ini. Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) boleh diisi nonmuslim. Bahkan menurut
Dahnil Wakil Kepala Badan Penyelenggara (BP) tidak masalah petugas haji bukan seorang muslim, asalkan tidak melanggar dan bersinggungan dalam aspek syariat. Menurut Dahnil, nonmuslim nantinya akan bekerja di bidang muamalah untuk urusan sosial di Kementerian Haji dan Umrah Republik Indonesia (Kompas.com, 25-8-2025).
Setali tiga uang dengan Bambang Eko Suhariyanto Sekretaris Negara (Wamensesneg), tidak ada lagi kewajiban bahwa seluruh Petugas Haji harus Muslim. Kebijakan ini diambil untuk mengatasi keterbatasan sumber daya manusia di daerah minoritas Muslim seperti Manado atau Papua. Jadi disepakati petugas haji nonmuslim hanya akan ditempatkan di wilayah embarkasi (Indonesia), bukan di Tanah Suci (Kompas.com, 22-8-2025).
Dengan demikian patut diketahui walaupun ada hal-hal yang tak sampai melanggar prinsip aturan haji dalam memperkerjakan non-Muslim sebagai petugas haji, hal ini dianggap sebagai keputusan yang tidak bijak dan perlu dikaji ulang.
Haji Sebagai Syiar Allah
Sebagian orang berargumen bahwa urusan teknis, seperti kesehatan, logistik, atau administrasi, tidak harus dipegang oleh Muslim. Namun, dalam perspektif Islam, semua urusan yang terkait langsung dengan pelaksanaan haji tetap termasuk bagian dari syiar.
Bahkan pendaftaran jamaah, pelayanan embarkasi, distribusi konsumsi, hingga pengelolaan kuota, semuanya tidak bisa dilepaskan dari konteks ibadah. Jika nonmuslim diizinkan menjadi petugas di bidang ini, maka sama saja kita membiarkan Syiar Allah diurus oleh mereka yang tidak meyakininya.
Karena itu untuk menjaga kemurnian syiar haji, penting untuk menegaskan bahwa seluruh urusan penyelenggaraan haji, baik yang terkait langsung dengan ibadah maupun teknis administratif, hanya boleh ditangani oleh Muslim.
Mengapa demikian? Karena ibadah haji itu sendiri merupakan salah satu Syiar Islam. Oleh sebab itu hanya muslim yang wajib menjadi petugas haji, bukan nonmuslim.
Mengagungkan Syiar Allah berarti menjaga kemurnian ibadah haji serta ketaatan umat Islam di seluruh dunia. Karena itu, tidak tepat bila syiar tersebut dikelola oleh orang yang tidak beriman kepada Islam. Padahal sangat jelas telah tertulis dalam QS. Al-Hajj ayat 32
Selain itu, QS. At-Taubah ayat 28 juga menegaskan bahwa orang musyrik tidak boleh mendekati Masjidil Haram. Larangan ini menunjukkan betapa eksklusifnya wilayah suci itu hanya bagi kaum Muslimin. Dengan dasar ini, keterlibatan nonmuslim, baik dalam ritual maupun urusan administratif yang melekat pada ritual haji, jelas bertentangan dengan prinsip syariat.
Dengan demikian tak layak jika nonmuslim menjadi petugas haji, walau bertugas sebagai administrasi atau di embarkasi. Karena nonmuslim bukan orang beriman. Hal ini juga menjadi wujud pengagungan terhadap simbol-simbol Allah yang harus dijunjung tinggi oleh umat Islam.
Haji adalah ibadah sakral yang merupakan rukun Islam kelima, ia adalah Syiar Allah. Oleh karena itu, seluruh petugas haji, baik yang menangani ritual maupun urusan teknis, seharusnyalah seorang Muslim. Semua itu sudah menjadi tugas serta kewajiban negara untuk menghadirkan petugas haji seorang muslim agar keinginan menjadi haji mabrur terwujud.
Maka dari itu, melimpahkan urusan haji kepada nonmuslim adalah solusi yang keliru. Harusnya, memperkuat profesionalisme Muslim agar mampu mengelola seluruh aspek penyelenggaraan haji. Maka solusinya adalah memperkuat SDM Muslim di segala bidang.
Dengan begitu, ibadah haji tetap terjaga kesuciannya, jamaah tetap terlayani dengan baik, dan syiar Allah tetap diagungkan sebagaimana mestinya.
Menyiapkan Profesionalisme Haji dalam Negara Khilafah
Haji adalah ibadah yang mempertemukan jutaan Muslim dari seluruh dunia. Ibadah ini membutuhkan manajemen profesional yang tidak hanya teknis, tetapi juga spiritual. Khilafah adalah sistem Islam sebuah sistem yang senantiasa melayani umat.
Oleh sebab itu dalam sistem Khilafah, pelayanan haji bukan proyek bisnis atau diplomasi, melainkan amanah syar’i. Sehingga memiliki prinsip dasar yakni kemaslahatan jamaah yang taat terhadap syariat serta berpandangan, manusia sama di hadapan Allah.
Maka dari itu, dalam sistem Khilafah tidak sekedar mencetak SDM yang paham fikih haji saja, tetapi sekaligus memiliki kompetensi di bidang medis, logistik, dan teknis. Di sini Khilafah juga membangun infrastruktur modern sehingga jamaah haji merasa tenang dalam beribadah karena transportasi dijamin aman.
Kemudian ditunjang oleh sistem informasi digital yang canggih dan akomodasi pendukung kekhusyukan. Serta layanan kesehatan dan keamanan gratis, memastikan ibadah berjalan tenang.
Dalam struktur pemerintahan Khilafah, haji ditangani oleh departemen khusus yang berada langsung di bawah otoritas khalifah. Hal ini untuk memastikan pengelolaan haji tidak bercampur dengan urusan politik praktis atau kepentingan ekonomi. Departemen ini bertugas mengatur transportasi, akomodasi, keamanan, kesehatan, dan bimbingan manasik. Dengan posisi langsung dari khalifah, setiap keputusan dapat diambil cepat, tepat, dan berorientasi pada pelayanan ibadah, bukan keuntungan.
Profesionalisme haji dalam Khilafah sudah dimulai saat jamaah masih di negeri asal. Negara menyiapkan pusat-pusat pelatihan manasik. Jamaah dibimbing agar memahami tuntunan ibadah secara benar, siap secara fisik, dan tertata secara logistik. Dengan begitu, jamaah tiba di Makkah dalam kondisi siap, sehat, dan tenang.
Dalam Khilafah, negara wajib memberikan fasilitas ibadah haji kepada umat. Karena sebagai bentuk pelayanan.
Maka, penyelenggaraannya tidak boleh dijadikan ladang bisnis. Negara membiayai seluruh layanan publik terkait haji menggunakan dana dari Baitul Mal, bukan dengan memungut biaya berlebihan dari jamaah.
Demikianlah, pelayanan Khilafah terhadap jamaah haji. Hal ini menjadi bukti bahwa tertibnya haji adalah kualitas kepemimpinan Islam. Khilafah melayani tamu Allah, bukan pengusaha haji.
Wallahu'alam bissawab.
Via
Opini
Posting Komentar