Opini
Inspirasi Ketangguhan Generasi Gaza di Tengah Kondisi Perang vs. Fenomena Duck Syndrome Kaum Muda
Oleh: Prayudisti SP
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Perang yang berlangsung di Gaza sejak lama telah memperlihatkan betapa timpangnya kekuatan antara penjajah Israel dan rakyat Palestina. Serangan demi serangan menghantam pusat pendidikan, fasilitas kesehatan, hingga tempat tinggal. Al Jazeera English (24 Agustus 2025) melaporkan, “Israel continues its bombardment on Gaza, hitting schools, hospitals, and residential areas, leaving families with no safe place to go.”
Upaya ini tampak jelas diarahkan untuk mengosongkan Gaza, Membuat warganya menyerah lewat kelaparan, dan kehancuran sistematis.Kontras dengan Gaza, di banyak kampus dunia justru muncul fenomena yang disebut duck syndrome. Istilah ini pertama kali populer di Universitas Stanford untuk menggambarkan mahasiswa yang tampak tenang di permukaan, tetapi sesungguhnya sedang berjuang keras dengan tekanan besar.
Kompas.com (22 Agustus 2025) menuliskan, “Duck syndrome menggambarkan mahasiswa yang terlihat baik-baik saja, padahal sebenarnya mereka berada dalam tekanan, merasa kewalahan, dan mengalami stres berat.” Fenomena ini kini jamak ditemukan di berbagai universitas, termasuk di Indonesia, di mana mahasiswa berusaha memenuhi ekspektasi tinggi dari diri sendiri maupun lingkungannya, meski sering kali tak sanggup.
Di sinilah tampak perbedaan mencolok antara Gaza dan kampus-kampus modern. Anak-anak Palestina justru dibentuk dengan kekuatan iman. Mereka belajar dari orang tua, bahkan dari nenek-nenek yang tetap mengajarkan Al-Qur’an meski suara bom mengguncang. Pendidikan Qur’ani itu menanamkan kepribadian Islam yang sadar akan amanah besar menjaga Al Aqsa dan agamanya. Mereka tahu hidup bukan sekadar bertahan, tetapi juga perjuangan yang bernilai di hadapan Allah. Maka meski orang tua mereka banyak yang telah syahid, mereka tidak berhenti belajar dan tidak kehilangan arah.
Sementara itu, mahasiswa di negeri-negeri yang aman secara fisik justru terjerat dalam tekanan sistem kapitalisme. Standar hidup yang perfeksionis, tuntutan akademik, ekspektasi orang tua, hingga gaya hidup materialistik membuat mereka mudah terjebak dalam stres. Mereka berusaha menampilkan diri seolah baik-baik saja, padahal di balik layar banyak yang hampir tenggelam.
Rendahnya pemahaman akan hakikat hidup, lemahnya iman, dan absennya kesadaran politik semakin memperparah keadaan. Sistem sekuler kapitalisme yang mendominasi kehidupan membuat generasi muda tak memiliki pegangan kokoh untuk menghadapi krisis.
Apa yang kita lihat di Gaza membuktikan bahwa ketangguhan sejati lahir bukan dari kemewahan atau fasilitas, melainkan dari iman yang mengakar kuat. Selama puluhan tahun dijajah, anak-anak Gaza tetap memandang dirinya sebagai bagian dari perjuangan besar membebaskan Al Aqsa. Inilah pelajaran penting bagi generasi muda di negeri Muslim lainnya. Mereka tidak seharusnya larut dalam tekanan standar kapitalisme yang menyesakkan, melainkan kembali kepada identitas sejati sebagai muslim yang berjuang menunaikan amanah dari Allah.
Kisah Gaza juga mengingatkan bahwa penderitaan ini tak akan berakhir selama dunia Islam terpecah-pecah. Perang tidak seimbang ini hanya bisa dihentikan jika ada persatuan kaum muslimin yang mengomando tentara untuk membela Palestina. Persatuan itu bukanlah mimpi utopis, melainkan sebuah kewajiban yang hanya bisa terwujud dalam institusi politik Islam, yaitu Khilafah. Dengan Khilafah, anak-anak Gaza bisa kembali merasakan kehidupan normal, belajar tanpa takut bom, dan tumbuh dengan tenang di bawah naungan syariat Islam.
Ketangguhan mereka seharusnya menjadi inspirasi bagi mahasiswa di seluruh dunia. Jika anak-anak yang setiap hari berhadapan dengan kematian saja masih bisa tersenyum dan menuntut ilmu, mengapa mahasiswa yang hidup dalam kenyamanan justru merasa hancur oleh tekanan standar semu kapitalisme? Perbedaan itu jelas: Gaza dibesarkan oleh iman, sementara kapitalisme membentuk generasi rapuh.
Karena itu, Gaza tidak hanya menyampaikan kisah penderitaan, tetapi juga membawa pelajaran berharga. Bahwa iman adalah sumber ketangguhan, dan bahwa sistem Islam adalah satu-satunya jalan keluar dari krisis multidimensi, baik bagi mahasiswa yang terjebak duck syndrome maupun bagi rakyat Palestina yang terus digempur penjajah.
Via
Opini
Posting Komentar